Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 2

Baru saat itu aku sadar, ada seorang gadis yang berdiri di belakangnya. Valen ... yang biasa dia panggil seperti itu hanya kakak tiriku, Valentina. Benar saja. Detik berikutnya, gadis itu melangkah mendekat dengan ekspresi iba. "Sheila, ini pertama kalinya kita bertemu, nggak kusangka keadaannya seperti ini ... Stefan, aku minta kamu buktikan bahwa kamu nggak punya perasaan padanya, tapi dia nyaris diperkosa. Kamu sudah keterlaluan." Valentina menegurnya, lalu berkata padaku lagi, "Maaf ya, Sheila, barusan aku cuma bercanda. Kamu berada di sisi Stefan selama tiga tahun, aku sempat cemburu, jadi asal ceplos saja, menyuruhnya kasih kamu ke orang lain ... " "Kupikir dia nggak akan menuruti, tapi ternyata dia benar-benar keterlaluan. Kamu nggak syok, 'kan?" Di matanya ada ejekan tersembunyi, nada bicaranya penuh rasa pamer. "Kak Valentina, kamu ini terlalu lembut. Dia cuma anak haram. Waktu kamu nggak ada, dia terus-terusan menggoda Pak Stefan! Kalau aku jadi kamu, pasti kubiarkan dia diperkosa dulu baru puas ... " Seseorang di tempat kejadian itu buka suara, mencerca diriku demi menjilat Valentina. "Siapa sih yang nggak tahu, Kak Valentina dan Pak Stefan itu kekasih masa kecil. Dia ini benar-benar nggak tahu diri, buang-buang tenaga tiga tahun, sekarang malah kembali ke wujud aslinya, 'kan?" Aku menunduk, menyentuh pipiku yang membengkak, ada senyum kecil melintas di mataku. "Nggak tahu diri?" ulangku di dalam hati. "Buang-buang tenaga?" "Kembali ke wujud asli?" pikirku. Sama sekali tidak! Pada akhirnya, Stefan tidak sanggup melepaskan aku. Jika di matanya aku cuma barang mainan, lalu kenapa peduli kalau aku dinodai Hans? Dia memang melelangku di depan umum, tetapi lalu menebusku kembali dengan sebidang tanah. Itu berarti aku masih cukup berharga. Kalau dia tidak rela, berarti selama tiga tahun ini usaha yang kulakukan dengan tulus itu tidak sia-sia. Gaun yang diberikan Stefan sudah disobek oleh Hans, sebagian pundakku terbuka. Begitu Valentina selesai bicara, aku langsung memandang ke arah Stefan tanpa sepatah kata pun sambil menangis diam-diam. "Stefan, malam ini temani aku, ya?" Valentina melangkah ke sisi pria itu, dengan manja memeluk lengannya. "Oke." Stefan menyetujui, tetapi sebelum pergi, dia meraih mantel dan melemparkannya ke tubuhku, menutupi seluruh kulitku yang terbuka. Melihat itu, ekspresi Valentina langsung menegang, nadanya tidak senang. "Stefan, bukannya kamu menderita OCD?" "Dia sudah disentuh orang, aku nggak mau lagi." Begitu mendengar jawaban Stefan, Valentina pun puas. "Sheila, Pak Stefan sudah nggak mau sama kamu lagi. Bagaimana kalau kamu ikut sama aku saja?" Begitu Stefan dan Valentina pergi duluan, Hans berseru sambil tersenyum cerah. Melihat langkah Stefan sempat terhenti di depan sana, aku tersuruk turun dari meja judi, lalu berseru lantang, "Dia nggak meninggalkan aku! Dan aku juga nggak akan pernah ikut sama kamu!" Aku berlari keluar dari klub. Hujan sedang turun di malam musim hujan itu. Suhu terasa sangat dingin hingga menusuk tulang. Menembus hujan dan angin, sebelum mereka sempat masuk mobil, aku mengadang mereka. "Kak, aku tahu aku nggak pantas bersaing denganmu. Kak Stefan juga hanya mencintaimu ... Tapi, Kak, aku benar-benar menyukai Kak Stefan. Aku cuma ingin ada di dekatnya. Melihatnya saja sudah cukup." Wajah Valentina langsung kelam. Dia mengangkat tangan dan menamparku. "Sheila, kamu ini hina sekali!" Berkali-kali ditampar, pipiku pun bengkak. Namun, aku tetap menunduk dan berkata pelan, "Kak, jangan marah. Aku nggak akan melakukan apa-apa. Aku janji nggak akan merepotkan kamu ... " Mendengar itu, Valentina makin marah dan hendak menamparku lagi, tetapi Stefan menahan tangannya. "Valen, tanganmu sakit nggak dipakai menampar terus?" "Stefan, dia belum menyerah juga. Masih berusaha menggoda kamu!" Valentina mengadu dengan kesal, barulah Stefan menatapku. Tiba-tiba dia terkekeh. "Valen, biarkan dia ikut. Biar dia lihat sendiri kita bercinta." Akhirnya aku mendapatkan keinginanku dan dibawa pulang oleh Stefan ke vila. Namun, di tengah musim hujan itu, dia tidak mengizinkan aku masuk ke rumah. Aku dihukum berdiri di luar. Malam makin larut. Dia dan Valentina naik ke kamar utama di lantai dua, dan bayangan mereka terlihat berpadu. Seharusnya aku yang ada di bawah tidak akan mendengar suara dari lantai atas. Namun, Valentina sengaja membuka jendela, dan dengan sengaja melenguh kencang. Menjelang tengah malam, saat aku nyaris pingsan karena kedinginan, barulah Stefan turun dan muncul di hadapanku. "Sakit?" Dia jauh lebih tinggi dariku. Dengan ringan dia mengangkat daguku, menyentuh pipiku yang membengkak. Aku menggeleng patuh, menggosokkan pipiku ke telapak tangannya. "Nggak sakit. Aku cuma takut jadi kotor, dan Kak Stefan nggak mau aku lagi." "Hans menyentuh bagian mana?" Wajah Stefan langsung muram begitu aku mengingatkannya. Aku buru-buru menjelaskan. "Dia nggak menyentuh apa-apa, cuma merobek baju yang kamu kasih." Dia menatapku lekat-lekat dan kembali bertanya, "Sheila, kamu menyalahkan aku?" "Sheila nggak salahin Kak Stefan. Sheila cuma nggak mau jauh dari Kak Stefan." Hampir bersamaan dengan jawabanku, dia tiba-tiba menciumku, menekanku ke bodi mobil. Lalu, dia membuka pintu, menyuruhku berbaring di jok. Saat tubuhnya menindihku dan bibirnya berpindah ke leherku. Aku menoleh ke arah balkon lantai dua. Entah sejak kapan, Valentina yang seharusnya sudah tidur, berdiri di sana. Matanya menatapku tajam bagai hantu.

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.