Bab 9
Wajah Viandina perlahan menjadi pucat.
Ternyata begitu ....
Ternyata selama tiga tahun ini, semua janji kencan manis yang tiba-tiba dibatalkan, setiap kali pria itu tampak tidak fokus, semua kehangatan dan keinginannya yang datang begitu mendadak ... di balik semua itu, ternyata ada Yurilia.
Melihat wajah Viandina yang seketika memucat dan tubuhnya yang hampir goyah, Yurilia tersenyum puas. Dirinya mengeluarkan ultimatum terakhirnya, "Jadi, kalau kamu tahu diri, tinggalkan Mervis sendiri. Kamu sama sekali nggak pantas untuknya, dan jangan bermimpi menginginkan sesuatu yang bukan milikmu."
Viandina memejamkan mata sejenak. Saat membukanya lagi, yang tersisa di matanya hanyalah ketenangan hampa tanpa kehidupan. Dirinya menjawab pelan, "Ya."
Maksudnya, hari ini juga Viandina akan pergi, menghilang untuk selamanya.
Namun, Yurilia salah paham. Dirinya mengira Viandina tidak percaya, tidak mau pergi. Sekilas kekejaman melintas di matanya, dan dirinya memutuskan untuk membuat Viandina benar-benar sadar akan kenyataan.
"Sepertinya kamu memang harus lihat bukti dulu baru percaya." Yurilia mencibir dingin. "Baiklah, kalau begitu biar kamu lihat sendiri. Dibandingkan denganku, di hati Mervis, kamu sama sekali nggak berharga!"
Belum sempat Viandina bereaksi, Yurilia tiba-tiba melangkah mundur, tubuhnya condong ke belakang. Dengan jeritan tajam yang melengking, dirinya terjatuh dari tangga batu yang curam di belakangnya!
Pada saat yang sama, Mervis muncul dari tikungan seperti angin puyuh!
"Kak Rilia!" Ketika melihat Yurilia tergeletak di bawah tangga dengan dahi yang berdarah, wajah Mervis seketika menjadi kelam. Dirinya mendongak tajam, dengan mata merah membara menatap Viandina yang berdiri di atas tangga. "Viandina! Kenapa kamu mendorongnya?"
"Aku nggak melakukannya!" Viandina buru-buru menjelaskan.
"Mervis ... jangan salahkan Dina ...." Yurilia dengan darah membasahi wajahnya, suaranya lemah bagaikan benang halus. "Aku yang ceroboh ... membuat dia marah ...."
Wajah Mervis menjadi gelap seperti badai. Tatapan yang diarahkan pada Viandina penuh dengan kekecewaan. "Viandina! Aku nggak menyangka kamu bisa sejahat ini! Hanya karena Kak Rilia berkata beberapa hal yang nggak kamu suka, kamu tega berbuat seperti ini? Dengan sifat seperti itu, bagaimana kamu bisa masuk ke Keluarga Purma! Pelayan!"
Mervis berteriak lantang kepada para pelayan yang datang setelah mendengar keributan. "Menurut aturan keluarga, seret dia ke aula leluhur! Cambuk dua puluh kali! Biar dia sadar diri!"
"Mervis! Aku benar-benar nggak mendorongnya! Percayalah padaku sekali ini!" Viandina berteriak putus asa.
Namun Mervis sama sekali tidak percaya. Dirinya mengangkat Yurilia dan pergi tergesa-gesa tanpa menoleh lagi.
Viandina diseret dengan kasar oleh dua pelayan bertubuh besar ke aula leluhur yang dingin dan suram.
Cambuk menghantam udara, lalu jatuh keras di punggungnya, membuka kulit dan daging, menimbulkan rasa sakit yang menusuk tulang.
Rasa sakit yang mengerikan menyapu seluruh saraf tubuhnya. Dirinya meringkuk di tanah, tubuhnya bergetar hebat, kesadarannya terapung di antara gelombang rasa sakit yang tak berujung.
Viandina menggigit kuat bibirnya, tidak memohon ampun, tidak menangis. Dirinya hanya menanamkan dalam-dalam rasa sakit dan kehinaan ini ke dalam hatinya.
Setelah dua puluh cambukan selesai, salah satu pelayan berkata dingin, "Nona Viandina, silakan berlutut dan merenung di sini. Tunggu sampai Tuan Muda kembali untuk memutuskan hukuman."
Setelah itu, mereka mengunci pintu dan pergi.
Bagaimana mungkin Viandina mau merenung? Dirinya harus pulang!
Menahan rasa sakit di punggungnya, Viandina berusaha untuk bangkit, lalu menabrakkan diri ke pintu kayu yang tampak kokoh tetapi sudah tua dan rapuh!
Pintu itu terbuka karena benturannya!
Dirinya menarik napas dalam-dalam, mendorong pintu dengan kuat, lalu menahan sakit sambil berlari terpincang-pincang menuju taman terpencil yang dalam ingatannya mungkin masih menyimpan sebuah sumur tua.
"Celaka! Nona Viandina melarikan diri!"
Segera, para pelayan menyadarinya. Seruan panik dan langkah kaki mengejar terdengar di belakangnya.
Cepat! Lebih cepat lagi!
Akhirnya, di sudut paling terpencil halaman belakang, dirinya melihat sumur tua yang separuh tertutup oleh rumput liar!
Dan pada saat itu, di langit malam, tujuh bintang membentuk garis lurus, memancarkan cahaya samar yang misterius!
Tujuh bintang sejajar! Waktunya telah tiba!
"Nona Viandina! Jangan ke sana! Berbahaya!" Para pelayan yang mengejar melihatnya berlari lurus ke arah sumur tua, ketakutan luar biasa melintas di wajah mereka. "Cepat! Cepat hubungi Tuan Muda! Nona Viandina mau bunuh diri! Cepat panggil dia pulang!"
Bunuh diri?
Viandina berhenti di tepi sumur, menoleh pada para pelayan yang panik di belakangnya, lalu memandang ke arah rumah besar yang terang benderang. Dirinya senyum getir tetapi juga lega.
Mervis, aku bukan ingin bunuh diri. Aku hanya ingin pulang.
Saat kamu kembali, di sini tak akan ada apa pun yang tersisa.
Selamat tinggal!
Tepat sebelum para pelayan berhasil meraih ujung bajunya, Viandina menatap langit bertabur bintang dan melompat ke dalam sumur tua yang gelap tanpa dasar!
Air sumur yang dingin segera menelannya, daya hisap kuat menarik tubuhnya ke bawah, seolah ruang dan waktu berputar dan terdistorsi ....
Sebelum kehilangan kesadaran, Viandina seolah mendengar teriakan pilu dari para pelayan di atas sumur. "Nona Viandina!"
Namun, sudah terlambat.
...
Saat dirinya kembali membuka mata, yang terlihat adalah ukiran indah di langit-langit tempat tidurnya yang familier, dengan aroma cendana lembut yang mengisi udara.
Pelayan yang berjaga di sisi tempat tidur melihatnya sadar dan segera menjerit gembira sambil berlutut di tepi ranjang, suaranya bergetar karena tangis. "Putri! Anda akhirnya sadar! Anda pingsan selama tiga tahun penuh, hamba benar-benar ketakutan!"
Putri ....
Dirinya telah kembali!
Kembali ke Kerajaan Desmana!