Bab 6
Di depan meja makan, Vania melihat sarapan yang hangat di depannya, tetapi rasanya hambar ketika dimakan.
Kelembutan dan perhatian Bastian, serta sikap menantang dan provokatif Soraya, terus terngiang di benaknya, membuatnya tidak bisa menelan makanan sedikit pun.
Vania langsung berbalik dan naik ke lantai atas, lalu mulai merapikan barang-barangnya.
Vila ini menyimpan terlalu banyak kenangan tentang dia dan Bastian. Dia harus melepaskan semuanya satu per satu.
Soraya tiba-tiba muncul di belakangnya dan berkata, "Nona Vania benar-benar sabar ya. Nathan adalah calon pewaris Keluarga Alvaro, sedangkan aku adalah ibu kandung pewaris Keluarga Alvaro, jadi nggak ada tempat untukmu di keluarga ini."
Vania mengangkat kepala, menatap wanita itu sambil berkata, "Terus kenapa?"
Soraya merasa agak bingung dengan reaksi tenangnya. Sambil mengerutkan kening, Soraya berkata, "Aku tahu kamu nggak ingin bercerai, tapi kamu juga nggak boleh egois, terus-menerus menguasai posisi Nyonya Alvaro. Keluarga Alvaro nggak akan pernah menerima wanita yang nggak bisa melahirkan."
Sambil tertawa, Vania melihat sinis. "Posisi Nyonya Alvaro? Kalau kamu suka, ambil saja."
Sambil berbicara, Vania langsung mengeluarkan surat cerai dari tasnya dan menyerahkannya kepada Soraya.
"Kamu tahu sendiri Bastian sangat mencintaiku. Bukanlah hal mudah membujuk Bastian menceraikanku."
"Surat cerai ini kuberikan padamu. Kalau kamu hebat, bujuk Bastian menandatangani surat cerai ini, lalu kirimkan padaku. Kalau nggak, bersiaplah terus menjadi kekasih gelap tanpa status."
Soraya terlihat senang dan merebut surat cerai itu.
Melihat tanda tangan Vania, Soraya terlihat penasaran. "Kamu benar-benar rela meninggalkan Bastian?"
Hati Vania bergetar. Ketika sebagian hidupnya telah dia curahkan untuk mencintai suaminya, mustahil dia benar-benar rela meninggalkan suaminya.
Vania perlahan memejamkan mata, menelan rasa pahit yang menyelimuti hatinya. Setelah membuka matanya lagi, tatapannya terlihat tenang.
"Aku, Vania, nggak mau berebut pria dengan wanita lain!"
Dia rela mengorbankan nyawanya demi Bastian, tetapi dia tidak bisa menoleransi pengkhianatan.
Soraya tertawa sinis, menganggap Vania tidak mau mengakui kekalahan, tetapi Soraya tetap membawa pergi surat cerai itu.
Vania melihat ke dalam ruang ganti, yang dipenuhi dengan hadiah-hadiah dari Bastian, tetapi hatinya tetap kosong.
Dia mulai membereskan barang-barangnya, pakaian, dokumen, dan beberapa barang penting lainnya. Dia tidak meninggalkan barangnya satu pun di sana, semuanya dimasukkan ke dalam koper.
Mengenai hadiah-hadiah dari Bastian, dia tidak mau menyimpannya. Semua hadiah itu dia bungkus, kemudian dikirim ke rumah lelang.
Jika sudah memutuskan untuk berpisah, maka tidak boleh ada satu pun barang milik mereka berdua di rumah ini.
Para pelayan bersembunyi tidak jauh dari situ sambil mengintip, mempertanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Vania malas menjelaskan kepada mereka.
Setelah semuanya beres, hari sudah sore. Vania beristirahat di ruang tamu dengan koper-kopernya sambil menunggu Helga menjemputnya.
Saat itulah, Vania tiba-tiba teringat sesuatu, seharian ini dia tidak melihat Nathan di rumah. Apakah anak itu benar-benar diusir?
Saat dalam kebingungan, dia melihat Bastian bergegas pulang, diikuti oleh Soraya dan Ellen di belakang.
"Nyonya, saya mohon, beri tahu saya di mana Nathan sekarang?" tanya Soraya sambil menangis, kedua tangan Soraya memegang lengan Vania.
Gerakan yang tiba-tiba itu membuat langkah Vania mundur terus-menerus, dan tanpa sengaja dia menabrak sudut meja di belakangnya, rasa sakit yang hebat langsung menyerangnya.
Rasa sakit itu membuat Vania marah. "Kamu gila ya! Mana aku tahu dia di mana?"
Tidak disangka, suara tangisan Soraya makin keras. Wanita itu segera mengambil pisau dan menekannya di leher Vania.
"Nyonya, saya tahu Anda nggak suka Nathan, tapi Anda nggak boleh membawa pergi Nathan tanpa sepengetahuan Tuan Bastian! Kembalikan Nathan!"