Bab 7
Nathan hilang?
Vania terdiam di tempat, tidak berani bergerak. Pisau itu sudah menggores lehernya, meninggalkan bekas luka tipis, tetapi rasanya sangat perih.
"Sadarlah sedikit, aku benar-benar nggak tahu anakmu di mana!"
Namun Soraya tampak seperti orang yang gila, tangan yang memegang pisau bergetar sedikit.
"Nggak mungkin! Hanya Anda yang nggak menyukai Nathan di sini! Anda juga memanggil begitu banyak mobil untuk mengangkut barang, siapa lagi kalau bukan Anda?"
Mata Soraya benar-benar merah. Wanita itu terlihat seperti seorang ibu yang kehilangan anak. Meskipun suaranya serak, wanita itu berkata, "Nyonya, saya mohon kembalikan Nathan. Dia adalah satu-satunya harapan saya."
Sambil berbicara, dia melemparkan pisau dan berlutut di depan Vania.
"Nyonya, Nathan adalah hidup saya."
Dengan susah payah, Vania akhirnya berhasil melepaskan diri dari belenggu. Saat mendengar ucapan wanita itu, sikapnya langsung sinis.
Dia tidak bisa menahan diri untuk bertanya, "Kembalikan anak itu padamu? Nathan 'kan anak panti yang diadopsi, apa hubungannya denganmu? Kenapa anak itu harus dikembalikan padamu?"
"Nathan adalah ... " Soraya mulai panik setelah menyadari ada ucapannya yang salah, akhirnya dia berhenti berteriak, suara tangisannya juga menjadi pelan.
Namun, kali ini Vania tidak mau menyerah begitu saja.
Setelah melihat kepanikan wanita itu, ekspresi Vania berubah. Vania sengaja memancing Soraya dengan bertanya, "Dia siapa? Cepat jawab!"
"Cukup!" Bastian membentak, "Vania, jangan memaksa dia seperti itu."
Vania menatap Bastian dengan tatapan tidak percaya, matanya bergetar sedikit.
Dia tumbuh bersama Bastian sejak kecil. Pria itu tidak pernah membentaknya. Bahkan, saat dia diancam Soraya dengan pisau, pria itu hanya diam saja.
Ini pertama kalinya pria itu membentaknya, semua demi kekasih gelap dan anak haram itu!
Satu kesimpulan dari semua rasa yang muncul di hatinya adalah kekecewaan. Vania benar-benar kecewa pada Bastian.
Bastian melihat perubahan ekspresi Vania. Saat menyadari dia baru saja membentak Vania, akhirnya dia melembutkan suaranya. "Vania, aku nggak bermaksud menyalahkanmu. Sejak anak itu diadopsi, Soraya yang selalu merawat anak itu. Tadi dia hanya terbawa emosi ... "
Vania menolak dengan nada sinis. "Hentikan pembicaraan ini, aku nggak mau mendengarnya."
"Bastian, kutegaskan sekali lagi, aku benar-benar nggak tahu anakmu di mana. Kalau anak itu hilang, kalian lapor polisi!"
Tatapan datar dan tenang Vania membuat Bastian panik, sampai-sampai pria itu tidak menyadari Vania baru saja terang-terangan mengatakan bahwa Nathan adalah anaknya.
Pada saat itu, asisten bergegas menghampiri Bastian sambil berkata, "Tuan Bastian, Tuan Muda Nathan sudah ditemukan."
"Tuan Muda Nathan ada di atas truk barang yang pergi ke arah luar kota, untungnya truknya belum pergi terlalu jauh, sekarang Tuan Muda Nathan sudah dalam perjalanan kembali."
Beberapa orang di sana merasa lega, kecuali Vania. Hari ini, dia memanggil beberapa mobil untuk mengirim barang ke rumah lelang, yang jelas akan menambah kecurigaan terhadapnya.
Ellen duduk di sofa, kemudian memarahinya, "Nggak bisa melahirkan anak, ya apa boleh buat. Aku sudah mengadopsi anak untukmu, kamu malah nggak suka. Kurasa, kamu ingin melihat Keluarga Alvaro nggak punya keturunan ya."
Ucapan Ellen sangat menyakitkan, makin memperlebar luka hati Vania.
Vania refleks menoleh ke arah Bastian, tetapi dia melihat Bastian sedang menatap tajam ke arah Soraya, entah apa yang sedang dipikirkan pria itu.
Tiba-tiba, Vania merasa emosi makin membuatnya sulit bernapas, akhirnya Vania berkata sambil tertawa sinis, "Benar, dulu seharusnya aku nggak mempertaruhkan nyawaku untuk menyelamatkan Bastian, biarkan dia mati saja."
Meskipun berkata demikian, sebenarnya hati Vania terasa hancur.
Bastian tiba-tiba mengangkat kepalanya untuk melihat Vania. Dia melihat tatapan mata Vania penuh dengan kesedihan.
Bekas sayatan yang masih berdarah di leher Vania makin terlihat jelas, Bastian tiba-tiba merasa cemas.
Dia segera maju untuk mencoba menarik tangan Vania, tetapi Vania menepisnya.
Hal yang paling menyedihkan adalah ketika hati sudah mati rasa. Begitu teringat bahwa tangan itu pernah menyentuh tubuh Soraya, Vania langsung merasa jijik!
Vania tidak mau memedulikannya. Dia hanya menunduk, pandangannya hanya fokus pada ponsel. Dia bertanya kepada Helga berapa lama lagi dia akan sampai di sini, tetapi entah mengapa Helga belum juga membalasnya.
Di dalam vila, suasana tiba-tiba menjadi sunyi, hanya tersisa suara isak tangis Soraya.
Tidak lama kemudian, Nathan sampai di rumah.
Begitu bertemu dengan Vania, Nathan langsung bersembunyi di belakang Bastian. Anak itu berkata sambil menunjuk ke arah Vania, "Papa, dia yang membuangku! Dia orangnya!"
Mendengar itu, Ellen segera berdiri, lalu berkata dengan wajah serius, "Vania, kamu mau berdalih apalagi? Nathan masih anak-anak, mana mungkin dia bohong?"
Mata Bastian bergetar. Ketika Bastian dan Vania saling menatap, Vania bisa merasakan emosi yang tersembunyi di balik tatapan pria itu.
Pria itu juga mencurigai dia.