Bab 8
Vania tiba-tiba merasa tidak berdaya.
Sambil tersenyum pahit, Vania berkata dengan suara dalam, "Sudahlah, terserah kalian mau pikir apa tentangku. Toh, apa pun yang kukatakan, kalian nggak percaya."
"Papa, lihatlah, wanita jahat itu sudah mengaku, hukum dia!"
Nathan menarik lengan baju Bastian, tetapi anak itu diam-diam melirik Soraya.
Ketika pandangan mereka bertemu, Soraya sedikit mengangguk. Wajah Nathan yang awalnya menegang, sekarang mulai agak santai.
Bastian jongkok, kemudian mengelus kepala putranya dengan penuh cinta. "Anak baik, Papa pasti melindungimu."
Tidak lama kemudian, Bastian memerintahkan anak buahnya, "Pengawal, kurung Nyonya di aula doa. Jangan biarkan dia keluar tanpa seizinku!"
Keputusan yang telah dibuat Bastian, tidak ada yang bisa mengubahnya.
Setelah itu, Bastian membantu Soraya berdiri. Mereka bertiga berjalan ke luar, tanpa menatap Vania sedikit pun.
Sementara Soraya memberi tatapan menantang. Tatapan jahat wanita itu menusuk hatinya.
Melihat mobil di luar sudah pergi, Ellen mengangguk puas. Kemudian, dia menyuruh pelayan di sampingnya membawa Vania secara paksa.
Para pelayan yang telah bekerja bertahun-tahun merasa tidak tega melihat Vania, akhirnya pelayan itu berbisik di telinga Vania, "Nyonya, tenang saja, kami nggak percaya Anda sejahat itu. Mungkin ada yang Tuan Bastian sulit ungkapkan, tapi Tuan Bastian sangat mencintai Anda, dia pasti nggak akan biarkan Anda menderita."
Vania tersenyum pahit. Sudahlah, toh dia akan segera meninggalkan tempat ini, semua ini tidak ada artinya lagi.
Dia berlutut di aula doa selama tiga hari tiga malam, hari-harinya jauh lebih sulit daripada yang dia bayangkan.
Para pelayan dari kediaman lama Keluarga Alvaro jelas-jelas diperintahkan untuk memakinya berkali-kali. Tidak hanya itu, setiap beberapa jam, Vania dipukuli.
Tongkat-tongkat pemukul itu terus dihantamkan ke tubuh Vania. Vania menahan sakit dengan tidak bersuara.
Dia menggigit bibirnya dengan keras, membiarkan rasa darah menyebar di mulutnya, keputusasaan di dalam hatinya makin besar.
Dia tiba-tiba teringat kejadian tujuh tahun yang lalu. Ketika Bastian dihukum berlutut selama tiga hari tiga malam di kuil doa Keluarga Alvaro demi menikahinya, tulang rusuk yang patah baru saja tersambung, nyaris membuat Bastian cacat seumur hidup.
Sebenarnya, bukan hanya Ellen yang memaksa Bastian putus hubungan dengan Vania, bahkan Helga dan orang tua Vania pun pernah membujuk Vania putus hubungan dengan Bastian. Semua orang tahu betapa Keluarga Alvaro sangat mengutamakan calon pewaris.
Saat itu, dia merasa kasihan pada Bastian. Vania percaya bahwa cinta mereka bisa lebih kuat dari segalanya. Di tengah tekanan keluarga, akhirnya Vania menikah dengan Bastian.
Apakah ini karma karena salah pilih pasangan?
"Bastian, kamu akan menyesal seumur hidup!" ucap Vania dalam hati.
Pada hari keempat, pintu aula doa perlahan terbuka, dan Bastian masuk ke dalam.
"Sayang, aku datang menjemputmu," ucap Bastian. Suara pria itu serak, ekspresinya juga terlihat lelah.
Vania tidak menghiraukannya, hanya menatap kosong ke arah beberapa altar di depannya.
Aula doa Keluarga Alvaro terawat sangat baik.
Dia terlalu berkhayal memercayai Bastian pasti rela meninggalkan anak itu.
Vania berpikir, yang dialaminya sekarang adalah akibat dari kebodohannya sendiri.
Tanpa menghiraukan Bastian, Vania perlahan-lahan berdiri. Karena terlalu lama berlutut, kedua kakinya mati rasa. Gerakan kecil saja justru memperparah luka di punggungnya.
Baru berdiri, tubuh Vania langsung jatuh.
Bastian segera menangkap dan memeluknya, agar dia tidak terjatuh lagi.
"Vania, kamu sudah berbuat salah, jadi harus dihukum. Kalau nggak, bagaimana kamu bisa jadi contoh yang baik buat anak? Lagi pula, kamu hanya dihukum berlutut."
Hanya hukuman berlutut?
Lalu, apa artinya semua luka di balik pakaiannya?
Vania tersenyum pahit. Dia langsung mendorong Bastian menjauh dan berkata, "Bastian, kamu lupa dengan janjimu? Kamu bilang kalau aku nggak suka anak itu, kamu akan usir anak itu."
Bastian mengerutkan kening dan menghela napas tidak berdaya. "Vania, Keluarga Alvaro butuh pewaris. Nathan adalah calon yang terbaik. Kita adalah suami istri, kamu juga seharusnya mempertimbangkan untuk menerimanya demi aku."
Kalimat itu sudah sering Vania dengar. Vania membalas dengan sinis, "Benarkah? Kukira, dia anak kandungmu."
Bastian tertegun sejenak. Pria itu tidak berani menatapnya, kemudian berkata, "Mana mungkin? Sayang, kamu adalah satu-satunya wanita yang kucintai. Nathan anak yang baik kok, dia anaknya sangat patuh."
Entah pria ini benar-benar mencintainya atau tidak, itu bukan hal penting lagi bagi Vania.
Namun, perasaan yang terjalin selama bertahun-tahun berubah menjadi dingin dalam waktu singkat, membuat Vania tidak bisa menahan emosinya.
"Bastian, kamu masih ... " Vania sebenarnya ingin bertanya "Bastian, kamu masih mau membohongiku sampai kapan?"
Sayangnya, sebelum sempat menyelesaikan kalimatnya, Soraya tiba-tiba masuk ke dalam.
"Bastian, Nathan ingin main ke taman bermain, ayo kita pergi bersama." Sambil berkata demikian, wanita itu juga melirik Vania, kemudian berkata, "Tapi, wajah Nyonya tampak kurang sehat, sepertinya ... "
"Dia nggak ikut," jawab Bastian dengan dingin. Pria itu memutuskan secara sepihak.
Dia menatap Vania dengan ekspresi datar. "Besok adalah ulang tahun Nathan. Keluarga Alvaro akan mengadakan pesta ulang tahunnya di kediaman lama Keluarga Alvaro. Kebetulan itu akan jadi kesempatan bagus untuk mengumumkan identitas Nathan. Sebagai mamanya, persiapkan diri dengan baik."
Vania tertawa sinis dalam hati. "Jadi mamanya Nathan? Aku nggak sudi!"
Vania keluar dari kuil doa Keluarga Alvaro dengan kaki pincang. Dari kejauhan, dia melihat Helga sudah menunggunya dengan wajah cemas.
Tanpa ragu, Vania langsung menghampiri Helga. Tidak disangka, terdengar suara Bastian dari belakang. "Vania, aku mau temani Nathan main ke taman bermain, malam ini aku nggak pulang. Kamu istirahatlah, besok pagi aku mengunjungimu."
Vania tidak menoleh, hanya mengeluarkan suara "hm" dengan suara pelan.
Entah mengapa saat melihat Vania berjalan makin menjauh, hati Bastian menjadi tidak tenang.
Namun, Bastian mengingatkan dirinya untuk bersikap tegas. Dia memahami Vania adalah sosok wanita yang berprinsip. Demi Nathan diakui keluarga, perbedaan pendapat dengan istrinya adalah sesuatu yang tidak bisa dihindarkan.
Dia percaya bahwa Vania mencintainya. Meskipun awalnya Vania menolak, dia percaya Vania akan menerima kehadiran Nathan.
Di sisi lain, Vania akhirnya masuk ke mobil dengan dibantu Helga.
"Vania, aku sudah bawa koper-kopermu. Lalu, Soraya juga menitipkan dokumen ini padaku."
Vania membuka amplop dokumen itu, di dalamnya ada surat cerai yang sudah ditandatangani oleh Bastian.
Melalui jendela mobil, Vania melihat Bastian, Soraya, dan Nathan sedang bersenda gurau saat naik ke sebuah mobil lalu pergi. Vania berkata dengan tatapan dingin, "Helga, kita berangkat ke bandara sekarang juga."
"Bastian, aku memutuskan untuk berpisah denganmu," ucap Vania dalam hati.