Bab 17
Hanya dengan sekali pandang, kaki Felix menjadi lemas karena takut. Meskipun sudah berlutut di lantai, dia tidak bisa menjaga keseimbangan dan bergoyang tidak stabil, jiwanya seolah telah meninggalkan tubuh.
Dia tidak pernah menyangka Darren akan muncul di tempat seperti itu. Yang lebih menakutkan adalah Darren telah mendengar bualannya pada Vinnia.
Sial!
Bagaimana dia harus menjelaskan ini?
Felix tentu tidak akan berani bertindak gegabah di depan Darren.
Juga tidak akan pernah berani melakukannya.
Mana mungkin Keluarga Sutrisno yang biasa bisa dibandingkan dengan keluarga nomor satu di Negara Kartan?
Felix mendongak dengan hati-hati, menatap pria di depannya.
Darren duduk tegak, jari-jari yang ramping memegang gelas dengan lembut, mengaduk cairan di dalam. Sepasang mata yang dalam itu samar-samar terlihat lesu.
Meskipun mengenakan kemeja berwarna gelap sederhana, tetap saja tidak bisa menyembunyikan aura mulianya, memancarkan pesona memikat yang sulit untuk didekati.
Wajah yang tegas bisa menaklukkan siapa pun hanya dengan sekali pandang.
"Pak Darren ... tadi aku nggak ada maksud begitu ...."
"Nggak ada maksud begitu?"
Darren tersenyum penuh arti, kelopak matanya agak berkedut. "Ada nggak yang mengajarimu kalau kamu nggak boleh menyentuh barangku?"
Felix terkejut.
"A ... aku tahu ...."
"Kamu tahu?"
Felix tidak berani menatap Darren lagi. Dia menoleh ke arah Vinnia dengan wajah memohon, "Nona Vinny, tadi aku lancang, aku salah!"
Vinnia mengabaikannya.
Darren berkata dengan nada dingin, "Tangan mana yang menyentuhnya?"
Kelopak mata Felix tiba-tiba berkedut. "A ... apa?"
"Aku tanya kamu, tangan mana yang menyentuhnya?" tanya Darren, "Kotor."
Felix kehilangan kata-kata.
"Nggak mau bilang?"
Melihat Felix hanya menggigil tanpa berkata sepatah kata pun, Darren berkata dengan wajah datar, "Kalau begitu kedua tanganmu akan dilumpuhkan."
"Pak Darren! Jangan!"
Kini Felix benar-benar ketakutan dan dia mulai meratap, "Aku buta! Aku nggak tahu diri! Pak Darren! Keluarga Sutrisno dan Keluarga Sinor juga cukup dekat ... dia!"
Felix tiba-tiba menunjuk ke arah Vinnia, "Dialah yang menabur perselisihan dan membuat dua keluarga menjauh! Dia menjebakku!"
"Bicaralah," kata Darren, "Aku memberimu satu kesempatan terakhir. Tangan yang mana? Kalau nggak, lumpuhkan saja keduanya!"
Wajah Felix memerah. Saat melihat para pria berjas mendekat, dia terlihat seperti akan menangis.
"Pak Darren ... jangan! Jangan! Tolong, ampuni aku ...."
"Dasar nggak tahu terima kasih!"
Seorang pengawal di samping tiba-tiba menjambak rambut Felix dan membantingnya ke meja rendah sekuat tenaga. Setelah itu, dia mengambil botol bir sebelum menghantam kepala pria itu.
Dengan pukulan keras di bagian belakang kepala, Felix merasa pusing. Tangannya juga ditekan di meja dengan jari-jari terbuka, pecahan botol bir menempel di punggung tangannya.
Felix berteriak dengan ketakutan, "Berhenti!"
Pengawal itu mencibir, "Masih nggak mau bicara? Beraninya kamu menyentuh kekasih Pak Darren? Lumpuhkan saja kedua tangan kotor ini!"
"Akan kubilang!" teriak Felix dengan putus asa, "Akan kubilang semuanya!"
"Katakan!"
"Tangan kiri ... tangan kiriku yang menyentuhnya!" Felix berkata sambil menggertakkan gigi, "Tangan kiriku ...."
Dia berkata sambil menatap Darren, urat-uratnya menonjol di wajah yang ketakutan.
Felix tanpa sadar meneriakkan kalimat itu.
Kehilangan satu tangan kiri lebih baik daripada kehilangan kedua tangan.
Darren menatap Vinnia, hanya mengangkat alis. "Benar tangan kiri?"
"Tangan kiri?" Vinnia tersenyum hingga matanya menyipit, lalu mengetuk dahi dengan jari seolah mencoba mengingat, "Sepertinya seingatku itu tangan kanan."
Dia berhenti sejenak, lalu tatapannya beralih ringan ke Felix dan berkata penuh arti, "Sepertinya ... dia menyentuhku dengan kedua tangan?"
Felix yang marah pun mengomel, "Dasar wanita jalang sialan! Kamu ...."
"Pak Darren ...." Vinnia melemparkan diri ke pelukan Darren, "Makiannya kasar sekali, mulut yang begitu kotor! Kalau nggak, lumpuhkan saja mulutnya juga!"
"Kamu ...." Felix sangat marah hingga tidak bisa berkata-kata.
Sekarang Felix telah melihat betapa kejamnya hati seorang wanita.
Darren berkata, "Lakukan apa yang dia katakan."
"Baik, Pak Darren."
Felix berteriak. Detik berikutnya, anak buah Darren mengambil sebotol bir dan langsung menusuk punggung tangan kirinya.
"Ah!" Dia berteriak dengan menyedihkan.
Felix mengejang kesakitan, tetapi dia ditahan dengan kuat dan tidak bisa bergerak.
Setelah itu ....
"Jleb!"
Botol yang pecah itu menusuk punggung tangan kanannya.
Felix tersentak kesakitan, tidak bisa berteriak.
"Plak!"
Pengawal itu mengangkat tangan dan menampar wajah Felix kuat-kuat.
Tamparan itu mendarat di bibir Felix.
Para pengawal ini sangat terampil dan berpengalaman. Tamparan ini langsung membuat dua gigi Felix tanggal.
Felix tumbang di tengah-tengah pecahan kaca yang berhamburan di mana-mana, tangan yang terluka berdarah.
Vinnia mengerutkan kening dan berkata, "Menjijikkan sekali, kamu mengotori lantai."
Dia menatap Darren. "Aku nggak mau lihat dia."
Dengan satu tatapan dari Darren, para pengawal itu langsung mengerti dan menarik Felix yang sekarat keluar.
Tidak lama kemudian, orang lain datang dan membersihkan kekacauan itu sebelum pergi dengan tenang seolah tidak ada yang terjadi.
Kekejaman seperti ini sering terjadi di bar.
Namun hal ini bisa menjadi masalah besar. Lagi pula, Felix telah menyinggung Pak Darren.
Tidak ada yang akan bersimpati padanya. Mereka hanya merasa Felix sendiri yang mencari masalah.
"Bagus nggak?" tanya Vinnia tiba-tiba.
Darren menatapnya.
Vinnia tersenyum. "Bukankah aku mengundangmu ke bar agar bisa duduk di lantai dua dan menonton pertunjukan?"
Darren berkata, "Aku bukan orang yang bisa kamu panggil sesuka hati."
"Tapi kamu tetap datang, 'kan?"
Darren, "..."
Vinnia mengaitkan dasi Darren dengan lembut, jemarinya menelusuri sisi wajah yang tegas. "Apa maksudnya ini? Berarti Pak Darren masih sangat peduli padaku, 'kan?"
Raut wajah Darren tiba-tiba menegang.
Tepat saat Vinnia hendak mengatakan sesuatu, ponselnya tiba-tiba berdering.
Darren mengeluarkan ponsel dan nama Judy muncul di layar.
Dia menjawab dan suara Judy terdengar dari ujung lain, "Kak Darren, kapan kamu pulang?"
Vinnia tersenyum dan membenamkan wajah di dada Darren sebelum merangkul pinggangnya.
Di ujung lain, Judy bisa merasakan kebisingan di sekitar Darren dan bertanya dengan ragu, "Kak Darren, kamu di bar?"
"Iya."
"Dengan siapa?"
Darren menyela, "Sudah malam, aku akan menyuruh sopir mengantarmu pulang."
Judy tertegun untuk waktu yang lama.
Dia bergumam dengan sedih, "Aku sudah menyiapkan makan malam dan ingin menunggumu kembali."
"Aku nggak mau makan."
"..." Judy begitu syok sampai tidak bisa berkata-kata.