Bab 4
"Paman Charles, aku bukan keledai yang dikasih rumput sedikit lalu rela menuruti semua perintah Anda. Lagi pula, kalau aku nggak maju, jangankan empat ratus miliar, Keluarga Wirawan mungkin akan menuntut Anda."
Setiap kata Sharleen menusuk tepat sasaran.
Charles sampai ingin mencekiknya, tapi tidak bisa berbuat apa-apa, "Baik! Besok aku transfer seratus miliar ke kamu."
"Terima kasih banyak, Paman Charles." Sharleen tetap berkata manis.
Charles yang penuh emosi, langsung pergi dengan muka masam.
Begitu suaminya keluar, Emma baru berani menarik lengan putrinya, "Sharleen, jangan salahkan pamanmu. Akhir-akhir ini dia memang stres gara-gara urusan Adeline. Lagi pula, uang sebanyak itu, dia juga takut kamu bawa aku pergi."
Sharleen berkata, "Ibu, jangan terlalu meninggikan diri sendiri. Uangnya ada empat ratus miliar, siapa yang rela mengeluarkannya lagi setelah masuk kantong?"
Emma tercekat, "Tapi ... tapi dia juga nggak memperlakukan kita dengan buruk. Kalau bukan dia, kamu mungkin nggak bisa sekolah."
"Huh. Ibu, jangan hanya lihat pengorbanannya. Ibu tiap hari cuci baju, masak, dan merawat anaknya dia. Semua pekerjaan yang dilakukan istri dan pembantu, Anda kerjakan sendiri. Ibu juga nggak pakai uangnya. Memangnya dia bisa menemukan istri gratis sehebat ini di luar?"
Sharleen menggeleng tidak setuju.
Menurutnya ibunya terlalu penurut, seperti wanita zaman kuno.
"Lagi pula, aku sudah memberinya lebih banyak. Terlebih lagi, aku juga sudah menyelamatkan Keluarga Thio."
Sharleen merasa sikapnya sudah sangat masuk akal.
Emma terdiam, tidak tahu harus menjawab apa.
...
Keesokan paginya.
Sharleen masih tidur, lalu Emma datang mengetuk pintu, "Sharleen, orang Keluarga Wirawan sudah datang."
"Baik, aku segera keluar."
Sharleen langsung bangun, cuci muka, dan sikat gigi. Lalu berjalan keluar dengan hati cukup senang.
Orang yang datang dari Keluarga Wirawan adalah seorang pria berusia sekitar tiga puluhan yang memakai jas rapi, terlihat seperti pebisnis sukses.
"Nona Sharleen, aku asisten Tuan Muda Aditya." Dia menyerahkan kartu nama.
Sharleen melirik sekilas. Namanya Dony.
"Bicara di sana saja." Sharleen teringat seratus miliar yang dijanjikan Aditya, jadi membawa Dony ke balkon karena tidak ingin diketahui Keluarga Thio.
Awalnya Dony bingung, ketika hanya tersisa mereka berdua, gadis polos berwajah manis di hadapannya itu langsung bertanya, "Uang dari Tuan Muda Aditya sudah siap? Kalau sudah, baru aku tanda tangan."
"..."
Dony terdiam.
Apakah gadis sekarang semuanya sepintar ini?
Pantas saja, ahli bilang kalau generasi sekarang terlalu realistis.
"Begini, Tuan Muda Aditya bilang nggak jadi cerai."
Begitu kata-kata itu keluar, wajah Sharleen yang tadinya merah merona langsung pucat pasi.
Tampangnya seperti baru kehilangan ayah dan ibu sekaligus.
Sharleen berkata panik, "Mana mungkin! Tuan Muda Aditya begitu membenciku, dia bahkan mengusirku."
Dony tersenyum, "Dia juga pernah mengusirku, tapi buktinya aku masih bekerja untuknya sekarang."
"Jangan-jangan ini April Mop?" Sharleen buru-buru membuka kalender di ponsel.
"Nggak perlu dilihat lagi. Pak Tito nggak setuju, Tuan Muda Aditya nggak bisa lawan. Aku datang menjemput Anda pulang," kata Dony.
Hati Sharleen merasa dingin, "Bukankah bercerai lebih baik? Keluarga Wirawan ingin aku ke sana melakukan pernikahan penolakan bala, tapi Aditya sudah sadarkan diri sekarang. Jujur saja, standar Keluarga Thio terlalu rendah, kami nggak sepadan."
"Anda bicara denganku juga nggak ada gunanya." Dony tetap tenang. "Tuan Muda Aditya bilang, Anda harus kembali. Kalau nggak ... menghancurkan Keluarga Thio sangat mudah baginya.”
Sharleen merasa putus asa.
Bagaimanapun juga, Keluarga Thio sudah membesarkannya, dia bukan orang yang tidak berperasaan.
"Baiklah, aku berkemas dulu dan ikut kamu pulang."
Dia kembali ke kamar untuk membereskan barang dengan lesu.
Mendengar Aditya tidak mau bercerai, wajah Charles dan Emma langsung berubah jelek.
Saat Sharleen sedang mengemas, Charles mengingatkan dengan cemas, "Sharleen, kamu harus cari cara supaya Aditya segera cerai denganmu atau membuatnya jatuh cinta padamu. Kalau nggak, identitasmu yang bukan putri kandung Keluarga Thio cepat atau lambat akan ketahuan."
"Aku akan berusaha membuatnya membenciku."
Sharleen menghela napas, membuat Aditya jatuh cinta padanya hampir mustahil.
...
Satu jam kemudian.
Sharleen kembali dibawa ke kamar VIP rumah sakit.
Setelah dua hari dirawat, kondisi Aditya sudah jauh lebih baik.
Pria itu mengenakan piama mahal dan bersandar di ranjang. Begitu melihat Sharleen datang, dia menyindir dengan dingin, "Sekarang kamu pasti sangat senang, 'kan? Aku nggak tahu Keluarga Thio pakai trik apa sampai ayahku memaksaku nggak bercerai denganmu."
Tuduhan semacam itu membuat Sharleen kaget sekaligus jengkel.
"Benar, Keluarga Wirawan ternyata begitu lemah." Sharleen kembali menyindir, "Katanya keluarga kaya raya di Negara Holac, malah begitu mudah dikendalikan Keluarga Thio yang kecil. Kalau Keluarga Thio begitu hebat, mungkin sudah lama menggantikan Keluarga Wirawan menjadi penguasa baru di Kota Sunther."
"Puh!"
Dony yang membantunya membawa koper masuk kebetulan mendengar itu, dia langsung menunduk dan tertawa.
Sampai tatapan tajam melirik ke arahnya.
Tubuhnya langsung membeku dan segera pura-pura batuk keras.
Rona wajah Aditya yang tadinya sudah lumayan membaik, mendadak jadi lebih jelek lagi karena marah.
"Dony, siapa yang menyuruhmu membawanya ke sini? Bukankah ayahku menyukainya? Bawa saja ke rumah, biar dia lihat sepuasnya!"
Dony mengomel dalam hati, Anda kalah debat malah melampiaskan amarah padaku.
Tapi dia tetap patuh menjelaskan tanpa daya, "Pak Tito bilang aku harus bawa Bu Sharleen ke sini agar bisa akrab sama Anda."
"Dia hanya bisa membuatku tambah sakit." Aditya memelototi Sharleen.
Sharleen berkedip, "Dokter pengobatan tradisional bilang, kalau marah darah jadi lancar, banyak penyakit bisa sembuh. Buktinya suaramu sekarang lebih kencang dari sebelumnya. Itu berarti peredaran darahmu makin lancar."
Dony gemetar sampai memejamkan mata.
Aura dingin dari tubuh Aditya nyaris membuatnya ikut beku.
Namun Bu Sharleen masih tidak sadar, akhirnya dia mengerti kenapa Tuan Muda Aditya menghancurkan barang di kamarnya kemarin.
"Pergi! Pergi ke kamar sebelah! Aku nggak mau melihatmu!" Aditya meledak, meraih gelas di meja lalu melemparkannya ke arah Sharleen.
Sharleen berkerut dan segera menghindar.
"Memangnya aku suka melihatmu?"
Dia menyeret koper ke kamar sebelah.
Aditya mengaitkan jari menyuruh Dony mendekat dan bertanya dengan pelan, "Sewaktu kamu menjemputnya, dia terlihat senang nggak?"
Tenggorokan Dony tercekat, "Nggak ... nggak ...."
"Katakan yang sejujurnya." Aditya menginterogasinya.
Dony menunduk, "Dia sama sekali nggak senang. Mukanya seperti orang baru kehilangan orang tua."
"..."
Aditya mendengus, menarik kerah bajunya, "Itu hanya pura-pura."
Dony hanya bisa menghela napas dalam hati.
Delusi itu penyakit, sayangnya Tuan Muda Aditya tidak sadar.
...
Di kamar sebelah.
Sharleen terkagum-kagum. Pantas Keluarga Wirawan disebut keluarga terpandang, bahkan kamar rawatnya pun berbentuk suite.
Dia memilih sebuah ruang istirahat.
Lagi pula Aditya tidak mau melihatnya.
Lebih baik dia menulis tesis dan main game di kamar.
Kalau lapar tinggal pesan makanan, kalau haus bisa pesan teh susu.
Saat Aditya sedang masa pemulihan, dia sering mendengar suara pengantar makanan di depan pintu, "Pesanan sayap ayam Anda sudah sampai, pesanan teh susu sudah sampai, pesanan pizza durian Anda sudah sampai ...."
Hal yang paling menyebalkan adalah Aditya sangat membenci bau durian.
"Sharleen, ke sini sekarang juga!" Aditya sudah pusing karena aroma itu.
Di kamar sebelah sama sekali tidak ada jawaban.