Bab 3
Keesokan pagi, Wenny yang wajahnya pucat, bangun dengan susah payah.
Dia ingin mengemas barang lebih awal, supaya saat pesawat datang, dia bisa langsung pergi.
Saat membuka pintu, dia hampir menabrak Clayton yang datang membawakan teh jahe gula merah.
Clayton mengerutkan alis dan meletakkan mangkuk di meja.
"Istriku, kenapa bangun? Kenapa nggak tidur lebih lama?"
Wenny menatap wajahnya dengan dingin.
"Bukankah kamu mau pergi dinas? Kenapa masih di rumah?"
Dalam sebulan, Clayton pasti pergi dinas dengan berbagai alasan.
Dulu dia pikir Clayton memang sibuk.
Sekarang dia baru tahu.
Clayton memang sibuk, tapi bukan urusan kerja, melainkan sibuk menemani Friska.
Clayton menariknya ke dalam pelukan, menusuk hidungnya dengan jari telunjuk.
"Kamu sedang sakit begini, masa aku mau pergi dinas?"
"Tenang, hari ini aku nggak akan ke mana-mana, aku temani kamu di rumah!"
Kalimatnya penuh perhatian.
Dulu, Wenny akan menangis karena terharu.
Dia terlalu mencintai Clayton, sampai sedikit kasih sayangnya saja terasa membahagiakan.
Melihat mata Clayton yang hanya ada dirinya ....
Wenny merasa hatinya sakit seperti ditusuk jarum.
Wenny menggerakkan bibirnya dan masih belum sempat bicara.
Ponsel Clayton berdering.
Saat melihat nama penelepon, Clayton spontan melirik Wenny.
"Istriku, ada telepon dari Rizal, aku angkat dulu." Tanpa menunggu jawaban, Clayton segera berjalan ke ruang kerja.
Suara pintu dikunci terdengar jelas oleh Wenny.
Wenny bahkan tidak tahu, kapan Rizal mengganti nama jadi Friska.
Dia tidak menyentuh teh jahe di meja, berbalik dan pergi ke luar.
Tak lama kemudian, pintu ruang kerja berbunyi lagi.
Clayton berganti baju, buru-buru keluar dengan wajah penuh sukacita.
Untuk sesaat, dia lupa pada Wenny.
Dia segera berjalan ke depan pintu.
"Kamu mau ke mana? Bukankah mau menemaniku di rumah?"
Mungkin terlalu senang, Clayton bahkan tidak menyadari nada ejekan dalam kalimat itu.
Dia meraih pinggang Wenny dan menempelkan ciuman ke bibirnya dengan antusias.
"Sayang, ada proyek besar yang berhasil didapatkan, tapi aku harus tandatangani sendiri. Kamu tunggu aku di rumah ya. Nanti aku belikan kue kesukaanmu!"
Wenny tersenyum palsu.
Setelah dia pergi, Wenny juga mengikutinya keluar.
Seperti yang sudah diduga, Clayton bukan pergi untuk menandatangani proyek besar.
Dia mengendarai mobil ke bandara dan tak lama kemudian, Wenny melihat Clayton merangkul seorang wanita dengan perut sedikit buncit.
Clayton mengeluarkan bunga yang sudah disiapkan dan menyerahkannya pada wanita itu.
Wenny sudah sangat mengenal wajah itu.
Itu adalah Friska yang sudah koma selama dua tahun.
Jantungnya seketika tercekat.
Ternyata, Friska tidak hanya sudah sadarkan diri, tapi juga sedang hamil.
Tubuh Wenny gemetar, hatinya seakan berdarah-darah.
Friska melompat ke dalam pelukan Clayton.
Clayton melepas kacamata hitamnya, jari telunjuknya menyentuh ujung hidung Friska.
Wenny yang tidak jauh di sana menyipitkan matanya.
Itu adalah gerakan yang Clayton suka lakukan ketika sedang bermesraan dengannya.
Ternyata, bahkan gerakan itu pun, bukan miliknya seorang.
Friska tidak bisa menahan diri, ingin Clayton menciumnya.
Awalnya, Clayton sedikit ragu dan melihat sekeliling.
Namun, Friska berjinjit di depan Clayton sambil merangkul lehernya.
Ekspresi manja itu paling disukai Clayton dulu.
Bagian bawah perut Clayton terasa panas. Dia membungkuk dan menggendong Friska menuju sudut bandara.
Wenny mengikuti dengan kaku, tapi tidak secepat mereka.
Saat sampai, dia baru menyadari tempat itu adalah ruang ibu dan bayi.
Pintu terkunci rapat, dari dalam terdengar suara ciuman intim.
"Kenapa tiba-tiba datang? Kenapa nggak bawa Bu Lina? Kamu ke sini sendirian, aku mana bisa tenang!"
Itu suara Clayton, Wenny terlalu familier dengan suara itu.
Saat ini, Clayton terus menanyai wanita di dalam seperti rentetan peluru.
Melihat Clayton yang begitu cemas, Friska justru tertawa manja. "Pertanyaanmu banyak sekali, aku harus jawab yang mana dulu?"
"Jawab semua! Aku mau dengar semuanya ...."
Friska tiba-tiba mencium bibirnya.
Dia menatap wajah Clayton sambil tersenyum. "Aku akan menjawab semuanya. Jawabannya adalah Suamiku, aku kangen kamu!"
Clayton terengah, matanya langsung panas membara.
Detik berikutnya, dia mencengkeram leher Friska dan membalas ciuman dengan agresif.
"Dasar rubah kecil, aku mau kamu nggak bisa berjalan keluar dari pintu ini nanti!"
"Ah! Jangan ... jangan cium di situ .... Suamiku! Suamiku! Aku ... aku salah!"
"Huh, sudah tahu salah? Telat!"
Suara rendah dan serak Clayton menusuk telinga Wenny yang berdiri di luar pintu.
Di dalam terus terdengar wanita itu merintih malu dan suara basah.
Mata Wenny kosong, hatinya seakan dicabut dan darahnya merembes ke luar. Dia berjalan ke arah berlawanan dengan langkah kaku.
Tapi suara-suara itu, tetap terngiang di telinganya, tidak bisa hilang.