Bab 10
Yasmin tersentak saat mendengar kata "hamil".
Kata itu menyentuh luka paling dalam yang dia sembunyikan rapat, keguguran yang jadi pelajaran paling pahit dalam tiga tahun pernikahannya yang hampa cinta. Bahkan Yani pun tak pernah dia beri tahu, karena makin sedikit orang yang tahu, makin baik.
Tapi Nancy tanpa peringatan menyingkap luka itu, dan jari-jari Yasmin yang tergantung di sisi tubuhnya mulai gemetar halus.
"Tapi aku paling tahu siapa kamu," katanya dengan nada sinis. "Kalau kamu benar-benar hamil, kamu pasti sudah mengumumkannya ke seluruh dunia. Kamu pikir kamu bisa mempertahankan status sebagai istri kakakku lewat anak? Kalau memang hamil, kamu nggak akan bisa menyembunyikannya bahkan sedetik pun."
Dulu, Nancy sering merendahkan Yasmin karena belum juga memiliki anak.
Yasmin selalu menahannya, karena dia memang sangat menginginkan seorang anak.
Namun sekarang, dia sudah tidak bisa bersabar lagi. "Kalau kamu sudah tahu semua itu, kenapa masih bertanya? Minggir."
"Kamu langsung tersinggung? Kalau kamu tahu kakakku sedang merayakan ulang tahun Shayna, bisa-bisa kamu mati karena marah," ucap Nancy dengan sinis.
Sejak kecil, Nancy sangat dimanja oleh Cakra, dan dia tidak suka jika ada perempuan lain yang menarik perhatian kakaknya.
Tapi kalau harus memilih calon kakak ipar, menurutnya Shayna jauh lebih pantas dibanding Yasmin.
Shayna berasal dari keluarga elite, memiliki kemampuan teknis luar biasa, berparas cantik, punya uang dan prestasi, benar-benar wanita ideal di mata semua orang.
Selain itu, Shayna punya banyak hobi menantang, seperti balapan, panjat tebing, bermain ski, hingga berselancar. Nyaris tak ada yang tak dia kuasai.
Nancy sangat mengagumi gaya hidup bebas dan berani. Bagi dia, Shayna bukan hanya berbakat dan disukai para orang tua, tapi juga punya sederet hobi keren yang benar-benar sesuai dengan selera anak muda zaman sekarang.
Tiga tahun lalu, Shayna memilih ke luar negeri demi mengejar kariernya. Itu adalah hal yang menurut Nancy menunjukkan ambisi dan keberanian seorang perempuan hebat.
Dalam pandangan Nancy, hanya perempuan luar biasa seperti Shayna yang pantas mendampingi kakaknya.
Sedangkan Yasmin? Yang bisa dia lakukan hanya memasak. Apa bedanya dengan pembantu rumah tangga?
Dengan kemampuan seperti itu, bagaimana dia bisa dibandingkan dengan Shayna?
Untung saja sikap kakaknya terhadap Yasmin juga tak jauh berbeda dari dirinya. Dia tidak pernah benar-benar menganggap penting keberadaan Yasmin. Selama tiga tahun pernikahan, Nancy belum pernah melihat kakaknya merayakan ulang tahun Yasmin sekalipun.
Tapi saat Shayna berulang tahun, kakaknya menyiapkan kejutan istimewa, mendekor tempat dengan detail, membuat hadiah dengan tangannya sendiri, bahkan mengundang tokoh-tokoh penting di Kota Lohari untuk meramaikan acara. Semua itu menunjukkan betapa besar usahanya.
Sejak Nancy beranjak dewasa, dia bahkan belum pernah menerima hadiah buatan tangan dari Cakra, kakaknya sendiri.
Yasmin bisa memastikan, Nancy memang sengaja muncul hanya untuk mempermalukannya. Tidak ada gunanya meladeni.
Dengan wajah dingin, Yasmin berusaha berjalan melewatinya.
Namun, pergelangan tangannya tiba-tiba ditarik oleh Nancy.
"Lepaskan," ucap Yasmin dengan nada tegas. Gadis manja dari keluarga terpandang ini rupanya belum juga selesai mencari gara-gara.
Nancy tidak menyangka Yasmin bisa sekuat itu menahan diri, jadi dia pun berhenti berpura-pura ramah. Dia berkata blak-blakan, "Kamu ke sini untuk kasih uang ke adikmu, ya?"
Mata Yasmin langsung menyempit mendengar itu.
Nancy tertawa puas, seperti anak kecil yang berhasil menjahili orang lain. "Aku sudah melihatmu sejak tadi. Tadi aku bertanya kamu ke rumah sakit untuk apa, itu hanya untuk menggodamu saja. Kak Yasmin, jangan marah ya."
Ternyata benar. Dia memang sengaja datang untuk mempermalukan Yasmin.
Melihat tatapan dingin Yasmin, Nancy tampak heran. "Kamu memakai uang keluarga kami, tapi masih berani menunjukkan wajah seperti itu?"
Yasmin menjawab dengan nada datar, "Itu uangku sendiri."
Nancy mendengus tidak percaya. "Kamu itu kan orang miskin. Makan, minum, segala kebutuhanmu pakai uang keluarga kami. Dari mana kamu dapat uang? Gaji dari kerja sebagai sekretaris? Lucu sekali."
Lalu dia mengangkat sudut bibir, seolah tak peduli. "Kamu diam-diam pakai uang kakakku buat bantu keluarga kamu, aku bisa maklumi. Lagi pula, siapa sih yang nggak punya saudara miskin? Sesekali numpang hidup juga wajar, cuma uang kecil ini. Keluarga kami juga nggak akan jatuh miskin karenanya. Tapi jangan sampai kejadian lagi. Kalau sampai terulang, aku akan laporkan ke kakakku!"
Yasmin mengernyitkan dahi.
Nancy sangat paham bahwa mengadu pada kakaknya adalah cara paling mudah untuk menekan Yasmin, dan trik itu selalu berhasil.
Dari ekspresi wajahnya, terlihat jelas bahwa Nancy sedang menunggu Yasmin menunjukkan sikap seperti dulu. Merendah, memohon, dan berusaha menyenangkannya.
Namun kali ini, Yasmin tidak akan lagi bersikap seperti itu. Dia menarik pergelangan tangannya dengan sedikit tenaga, melepaskan diri dari cengkeraman Nancy, lalu berkata datar tanpa nada emosi, "Kamu terlalu banyak berpikir. Aku dan kakakmu sudah nggak ada hubungan apa-apa lagi ... "
Nancy langsung tertawa terbahak-bahak. "Siapa yang nggak tahu kamu itu lengket kayak prangko? Kalau kamu benar-benar bisa meninggalkan kakakku, aku bersumpah akan ikut margamu!"
Mendengar ucapan itu, Yasmin tiba-tiba menjadi tenang.
Dia sudah bercerai dengan Cakra. Sudah tidak penting lagi bagaimana Keluarga Jiwanto memandang dirinya..
Terus-menerus menjelaskan diri atau terlibat dalam perdebatan dengan mereka hanya akan menguras energi dan membuatnya terjebak dalam konflik batin yang sia-sia.
Lagi pula, satu dua kalimat tidak akan mengubah prasangka orang lain yang sudah mengakar.
Jika penjelasan tak ada artinya, maka tak perlu ada penjelasan sama sekali.
Emosi yang tadi muncul pun, sebenarnya hanyalah karena luka dari keguguran yang belum sepenuhnya sembuh.
Setelah tenang, Yasmin menatap Nancy dengan datar dan berkata, "Terserah kamu mau bilang apa."
Setelah berkata begitu, Yasmin langsung berbalik dan pergi, meninggalkan Nancy dengan punggung yang dingin dan tak bersuara.
Sikap itu sungguh di luar dugaan Nancy, dan wajahnya langsung tampak kesal. "Sok jual mahal."
Nancy datang ke rumah sakit untuk menemani temannya. Saat temannya keluar dari apotek membawa obat, dia mengikuti arah pandang Nancy dan bertanya, "Siapa dia?"
"Anjing peliharaan keluarga kami," kata Nancy dengan penuh hinaan.
"Oh, kamu digigit anjing?"
Nancy mendengus, "Mana mungkin ada anjing yang berani gigit tuannya? Anjing itu disepak pun susah pergi, cuma agak mengganggu saja."
Dia pernah dengar dari Luki bahwa Yasmin jadi gila karena cemburu sejak Shayna kembali ke dalam hidup Cakra. Di permukaan memang bilang mau cerai, tapi di belakang masih diam-diam menyelidiki keberadaan Cakra.
Trik basi seperti pura-pura menjauh tapi masih mengejar tetap saja dipakai. Jadi sikap dinginnya tadi adalah hal yang wajar.
Namun, tak peduli sekeras apa pun Yasmin berusaha mencari perhatian, semua itu di mata Nancy hanya dianggap lelucon belaka.
Dia segera mengesampingkan keberadaan Yasmin dan melanjutkan aktivitasnya bersama temannya.
Tapi kemudian, Cakra menelepon.
Nancy kembali ceria dan langsung menjawab dengan semangat, "Kak, ada apa telepon aku?"
Namun suara Cakra terdengar dalam dan berat. [Dia sudah kembali ke dalam negeri.]
"Dia?" Nancy tertegun. Sosok tinggi dan dingin langsung terlintas di benaknya. Tubuhnya menegang, bahkan napasnya pun terasa tertahan.
Nada suara Cakra tak ramah, [Kakek sudah memberi perintah. Akhir pekan nanti kita kumpul di rumah lama. Kalau kamu nggak mau bertemu dengannya, segera keluar kota sekarang. Nanti aku yang akan cari alasan ke Kakek.]
Nancy merasa terharu.
Dia tahu, kakaknya selalu akan melindunginya, tidak peduli apa pun yang terjadi.
Sebenarnya pria yang dimaksud itu juga bisa dibilang kakaknya, tapi hubungan mereka bahkan lebih buruk dari orang asing.
Pertama kali bertemu saat masih kecil, Nancy langsung terintimidasi oleh tatapan tajam dan aura dingin laki-laki itu. Sosoknya seperti baja beku di dinginnya malam, dan hanya dengan melihatnya sekilas saja, bulu kuduk bisa berdiri.
Nancy sampai menangis ketakutan dan trauma sejak saat itu. Bahkan dia tak berani berbicara padanya sepatah kata pun.
Meski bertahun-tahun telah berlalu, rasa takut itu masih belum hilang.
Namun, ini benar-benar memalukan.
Nancy berusaha menepis rasa takut dan pura-pura tenang. Dengan suara sedikit gugup, dia berkata, "Sudah berabad-abad nggak ketemu sama dia, mana mungkin aku takut."
Cakra hanya bermaksud memberi tahu Nancy. Mau datang atau tidak, itu terserah dia. Setelah menyampaikan, dia pun bersiap menutup telepon.
Nancy buru-buru memanggil, "Kak, tunggu dulu."
[Ada apa?]
Nancy mencoba menyelidiki sikap Cakra. "Tadi aku lihat Yasmin di rumah sakit. Aku nggak tahu dia sakit atau gimana. Kamu ... nggak mau tanya?"
Cakra sama sekali tidak tertarik. Dia memotong dingin, [Kalau nggak ada apa-apa lagi, cepat pulang.]
Lalu sambungan langsung terputus.
"Reaksi Kakak memang nggak mengejutkan sama sekali."
Walau sejak awal Nancy sudah tahu, tetap saja begitu mendengar sendiri bahwa Yasmin memang tidak penting bagi Cakra, dia langsung merasa puas.
Karena memang sejak dulu dia tidak suka pada Yasmin.
...
Yasmin kembali ke mobil.
Yani sedang menelepon rekan kerjanya. Sebagai pemilik perusahaan teknologi, Yani sangat sibuk. Maka waktu yang dia sisihkan untuk merayakan ulang tahun Yasmin benar-benar membuat Yasmin merasa terharu dan berterima kasih.
Begitu melihat Yasmin kembali, Yani menyudahi pembicaraannya dan bertanya dengan perhatian, "Bagaimana keadaan adikmu?"
Yasmin berkata datar, "Masih mending. Dia nggak akan mati."
Sambil menyalakan mobil, Yani menoleh dengan ekspresi menggoda. "Kamu cepat sekali keluarnya. Dia nggak mau ketemu kamu, ya?"
Yasmin tak menyangka Yani bisa langsung menebak. Dia hanya bisa menghela napas. "Dia pendendam."
Yani bersyukur. "Untung aku nggak punya adik yang sulit dihadapi begitu. Kalau ia, umurku pasti sudah berkurang banyak."
Yasmin terdiam.
Untuk mengalihkan pembicaraan, Yasmin bertanya, "Tadi kamu ngobrol sama siapa?"
Yani menjawab santai, "Sama rekan kantor. Dia mau ngenalin aku sama kakak senior lulusan Universitas Adipura. Dia baru saja pulang dari luar negeri, lulusan doktor, dan katanya salah satu talenta top di bidang AI. Tapi sehebat-hebatnya orang, tetap nggak bisa ngalahin kamu. Jadi, ketemu atau enggak, nggak masalah."
Yasmin berkata dengan datar, "Bagaimanapun juga, kita satu almamater. Temui saja."
Yani mengangguk. "Baiklah, aku akan atur waktunya. Tapi mungkin baru bisa dua minggu lagi karena aku sibuk sekali akhir-akhir ini."
Yani memang punya kemampuan eksekusi yang cepat. Dia langsung menghubungi rekannya untuk memastikan jadwal pertemuan.
Namun sebelum menutup telepon, Yani teringat sesuatu yang hampir terlupa. Dia bertanya, "Oh ya, nama kakak senior itu siapa, ya?"
Yasmin pun ikut menoleh dan menatapnya penuh rasa ingin tahu.