Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 4

Yasmin tidak membantah, hanya menatap bekas cincin yang masih membekas di jari manisnya. "Bekasnya jelek sekali. Harusnya aku lepas dari dulu." Mendengar itu, Yani mulai menyadari bahwa Yasmin benar-benar serius kali ini. Mungkin belum seratus persen yakin, tapi sikap Yasmin kali ini jelas lebih tegas daripada semua yang pernah terjadi sebelumnya. Meski begitu, mulutnya tetap gatal untuk menggoda. "Cintamu kalah sama seporsi makan siang." Yasmin tak merasa perlu membela diri. "Kalau begitu ayo, sekalian aku traktir makan." Namun Yani masih tetap duduk diam. Dia menaikkan sebelah alis, menatap Yasmin penuh selidik. "Waktuku mahal, jadi sebelum kita jalan, bilang dulu kamu sebenarnya mau apa. Aku harus tahu ini sepadan atau nggak sebelum aku buang waktuku duduk makan bareng kamu." Yasmin tertegun. Dia terdiam sejenak sebelum akhirnya membuka suara, "Dulu aku pernah berhenti menulis tesis. Sekarang aku mau mulai dari awal. Tapi aku butuh akses ke laboratoriummu untuk menjalankan data." Industri teknologi berubah begitu cepat, dan banyak hal yang harus diperbarui. Yasmin sebenarnya tidak berani menyampaikan ini lewat telepon sebelumnya karena dia merasa bersalah. Dalam hatinya, dia tahu benar kalau Yani pasti akan mengomel, "Kenapa baru sekarang?" Sebab andai dulu Yasmin tidak menikah, tesis itu sudah selesai dan dipublikasikan saat masih kuliah. Dan benar saja, Yani menatapnya seolah melihat hal aneh. "Lagi iseng, ya?" Yasmin menggeleng. "Aku benar-benar serius." Yani mengamati ekspresinya. Dia selalu aktif di industri, dan tahu bahwa riset terbaru dari Yohan di Universitas Adipura sedang menarik perhatian banyak perusahaan teknologi besar. Hampir tak ada yang tahu bahwa inti dari proyek yang kini sedang dikerjakan Yohan, yang telah membuat banyak peneliti kebingungan, sebenarnya sudah berhasil diselesaikan Yasmin tiga tahun lalu. Model bahasa lengkap Lugi-X bahkan masih tersimpan di perusahaannya sendiri. Sebagai satu-satunya pengembang Lugi-X, Yasmin telah menaklukkan banyak tantangan teknis besar. Hanya dengan mengangkat satu dari sekian banyak solusi yang dia kembangkan, sebuah laboratorium bisa bertahan berbulan-bulan. Menurut Yani, Yasmin adalah salah satu genius terbaik yang pernah dia temui. Sayangnya, wanita genius ini pernah menjadi budak cinta. Dia memilih menikah dan menghilang dari dunia riset. Sekarang pun, pekerjaannya hanya sebagai asisten pribadi, menyeduh teh dan membawa dokumen. Bagi Yani, yang menjunjung tinggi dedikasi dan efisiensi, ini adalah pemborosan kemampuan yang luar biasa. "Kamu yakin tesis yang kamu tulis tiga tahun lalu masih relevan?" tanya Yani dengan ragu. "Aku akan revisi. Nanti setelah guru kita keluar dari proyeknya, aku akan konsultasi langsung. Kalau disetujui, aku lanjut," jawab Yasmin. Syarat utamanya adalah, gurunya bersedia menemuinya. "Tapi kamu tahu kan, beliau sekarang sedang fokus pada penelitian negara. Bisa lama sekali menunggunya," ujar Yani mengingatkan. Yasmin tersenyum ringan. "Nggak apa-apa. Sekarang aku punya banyak waktu." Kini, dia sudah tidak lagi menggantungkan hidupnya pada cinta dari Cakra. Justru sekarang, yang paling dia miliki adalah waktu. Yani awalnya ingin menanggapi lebih jauh, tapi dia sadar sepenuhnya. Meskipun Yasmin sudah vakum dari dunia penelitian selama beberapa tahun, dirinya sama sekali tidak bisa memberi masukan soal proyek yang sedang dikerjakan Yasmin. Dunia para genius memang selalu di luar nalar orang kebanyakan. Yani akhirnya berhenti mencoba membujuk. "Baiklah, makan siang ini ... aku akan temani kamu." Yani memang terkenal galak di mulut, tapi hatinya lembut. Meski kelihatannya enggan, sebenarnya dia selalu bersedia membantu Yasmin, bahkan tidak akan mungkin datang ke sini kalau bukan karena kepeduliannya. Yasmin tersenyum tipis dan bercanda. "Terima kasih, Bu Presdir, sudah mau meluangkan waktunya untukku." ... Joni sedang menemani pacar barunya berkeliling pusat perbelanjaan. Dia adalah seorang selebgram yang baru resmi menjadi kekasihnya satu jam lalu. Tak disangka, Joni melihat seseorang yang sangat dikenalnya. Namun ketika hendak menyusul, sosok itu sudah menghilang dari pandangan. Joni lalu masuk ke toko perhiasan tempat dia melihat orang itu terakhir. Sambil membiarkan pacarnya memilih perhiasan sesuka hati, dia menyempatkan diri mengobrol dengan salah satu pegawai toko. Semakin lama mendengar penjelasan, ekspresinya berubah menjadi antusias. "Sialan si Cakra, berani-beraninya dia bohong sama aku!" Kalau Yasmin memang benar sudah pulang sejak pagi, mana mungkin dia sampai menjual cincin kawin? Setelah berpikir sejenak, Joni langsung mengontak sekelompok temannya dan mengatur pertemuan malam itu. Begitu malam tiba, mereka semua sudah berkumpul dan suasana mulai ramai dengan minuman dan canda tawa. Cakra pun datang agak belakangan. Begitu melihatnya, Joni pura-pura heran dan langsung mengangkat suara, "Eh kalian tahu nggak? Tiba-tiba Yasmin jual cincin kawin. Ini maksudnya apa coba? Main drama baru?" Setiap kali ada kumpul-kumpul, mereka memang suka menjadikan Yasmin sebagai bahan candaan. Awalnya mereka agak khawatir kalau Cakra akan tersinggung. Dulu, jika Cakra sampai mengernyit sedikit saja, semua orang langsung diam tak berani bicara lebih jauh. Tapi nyatanya, mereka terlalu mengkhawatirkan hal yang tak perlu. Cakra sama sekali tidak peduli. Bahkan saat mereka menggoda di depan wajahnya, dia tetap tenang-tenang saja. Namun malam ini, sebelum yang lain sempat buka suara, Cakra sudah berkata santai, "Dia cuma akting." Apa yang Yasmin katakan di kafe, semuanya sudah disampaikan Luki kepadanya tanpa terlewat sedikit pun. Dia tidak merasa terkejut. Dia dan Luki punya pemikiran yang sama. Yasmin pasti sedang kalap setelah menerima pukulan batin. Menjual cincin kawin? Itu pun bagian dari strateginya. "Akting, ya?" salah satu dari mereka menanggapi sambil tertawa, "Memang itulah khas Yasmin. Tapi sayangnya, jurus seperti itu nggak mempan terhadap Cakra." "Lagian, siapa juga yang nggak tahu kalau Cakra dari dulu nggak pernah sekalipun pakai cincin kawin?" Joni mulai menggoda. "Dalam acara-acara tertentu, pasti pernah dipakai. Setidaknya di depan kakekmu, kamu pasti nggak berani nggak memakainya, 'kan?" Namun, Cakra langsung melirik tajam ke arahnya, jelas menunjukkan ketidaksenangan. Joni buru-buru meralat sambil berdeham, "Ya, ya, kamu nggak pernah pakai! Bahkan sekali pun nggak pernah!" Barulah setelah itu, ekspresi Cakra sedikit melunak. Joni menghela napas dan kembali bertanya, "Tapi aku lihat Yasmin sempat mampir ke toko perhiasan lain. Sepertinya dia berencana membeli cincin pasangan baru untuk kamu. Kira-kira, kamu mau memakainya nggak?" Cakra tetap diam, seolah tidak mendengar. Jari-jarinya yang panjang dan ramping memainkan cincin di tangannya, dan untuk sesaat, sorot matanya menunjukkan kelembutan yang jarang terlihat. Cakra memang sosok yang dingin dan menjaga jarak. Dia cenderung kaku dan berwibawa, hingga tatapan lembut seperti itu sangat jarang muncul dari wajahnya. Joni penasaran dan langsung melongok ke layar ponselnya. Ternyata Cakra sedang mengobrol dengan Shayna. Namun hanya sekejap, layar ponsel langsung dikunci kembali. Cakra mengangkat kepalanya dan menatap Joni, nada suaranya terdengar tidak senang. "Kamu memanggilku ke sini hanya untuk membicarakan hal sepele seperti ini?" Joni akhirnya menyadari satu hal bahwa jika Yasmin tidak pulang selama sebulan penuh pun, Cakra tidak akan peduli. Apa pun tindakan yang Yasmin lakukan, selama Cakra tidak menaruh perhatian, semua usahanya akan menjadi sia-sia. Dengan kata lain, tidak akan ada hiburan yang bisa Joni nikmati dari kisah mereka. Joni menggeleng pelan sambil mengeklik lidahnya, menunjukkan rasa kecewa. "Meskipun aku juga kalah taruhan, tapi kamu yang kalah duluan. Jangan lupa traktir makan, ya." Itu taruhan mereka tentang berapa lama waktu yang dibutuhkan sampai Yasmin kembali. Cakra menanggapi dengan tenang, "Kamu tentukan saja waktunya." Joni tersenyum. "Kebetulan Shayna sebentar lagi ulang tahun. Kita rayakan hari itu saja, biar sekalian meriah." Cakra mengangguk. "Tanpa kamu bilang pun, aku memang sudah berencana mengundang kalian." Joni menggoda lagi. "Ternyata kamu sudah atur semuanya ya. Kamu memang pria penuh perhatian." Jelas sekali, jika Cakra memang peduli pada Yasmin, semuanya akan terasa berbeda. Kalau Joni tidak salah ingat, ulang tahun Yasmin baru saja lewat, sekitar sebulan yang lalu. Saat itu, Cakra justru sedang berkumpul dan minum bersama mereka. Di tengah acara, Yasmin sempat menelepon. Tapi karena Cakra sudah terlalu mabuk untuk menjawab, Joni yang akhirnya mengangkatnya. Kalimat pertama yang terdengar dari Yasmin adalah. "Kamu masih sibuk, ya? Ulang tahunku sudah lewat." Saat itu sudah pukul satu dini hari. Joni menjawab dengan nada sungkan, "Ini aku, Joni. Maaf, Cakra sudah terlalu banyak minum. Tapi, selamat ulang tahun ya." Yasmin terdiam sejenak, lalu seolah menerima kenyataan bahwa suaminya lupa ulang tahunnya. Dia hanya menitipkan pesan agar Joni menjaga Cakra dengan baik, tanpa satu pun nada menyalahkan. Saat itu, Joni sempat berpikir bahwa Yasmin benar-benar terlalu mencintai Cakra, bahkan sampai tak masuk akal rasanya. ... Menjelang dini hari, Cakra kembali ke rumah setelah menghadiri acara bersama Joni dan teman-teman lainnya. Saat melintasi ruang tamu, dia tiba-tiba teringat sesuatu dan melirik ke arah sofa. Namun, dia tidak melihat sosok yang biasanya duduk di sana. Setelah naik ke lantai atas, dia melihat kamar tamu di ujung lorong tampak gelap gulita. Itulah kamar Yasmin, kamar di lantai dua yang letaknya paling jauh dari kamar utama. Sudah satu hari penuh berlalu, dan Yasmin masih belum kembali. Cakra tidak terlalu ambil pusing. Dia pun berbalik dan masuk ke kamar utamanya. Senin pagi, di hari kerja. Setelah selesai mandi dan bersiap, Cakra turun ke lantai bawah. Bi Lina sudah sibuk di dapur sejak pagi, menyiapkan sarapan yang cukup mewah. Saat Cakra melihat makanan di meja, dia tak terlalu berselera, tetapi tetap duduk di meja makan. Bi Lina akhirnya menghela napas lega. Selama dua hari Yasmin tidak di rumah, suasana benar-benar membuatnya tegang. Cakra memang pria berpendidikan dan hampir tidak pernah marah-marah pada para pekerja rumah tangga, tetapi aura dinginnya cukup menekan. Bagi Bi Lina yang hanya seorang asisten rumah tangga biasa, berdiri di dekatnya saja sudah cukup membuat sesak napas. "Silakan dimakan, Pak," ucap Bi Lina hati-hati. Makanan itu sebenarnya tidak bisa dibilang buruk, tetapi dibandingkan dengan masakan Yasmin, tetap terasa kurang. Baru dua hari berlalu, dan Cakra mulai merindukan sarapan buatan Yasmin. Dia akhirnya membuka suara, "Dia ada menghubungi kamu?" Bi Lina yang tadinya hendak pergi, langsung tersentak kaget. "A ... apa, Pak?" Kening Cakra berkerut. Ekspresi Bi Lina langsung berubah Dia langsung sadar dan cepat-cepat menjawab, "Belum, Pak. Belum ada telepon sama sekali." Kening Cakra semakin dalam berkerut, nadanya berat. "Sama sekali nggak ada?"

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.