Bab 6
Cakra berkata pelan, "Kamu sangat hebat."
Shayna menangkap dengan jelas sorot kekaguman yang dalam di mata pria itu.
Reaksi seperti ini memang sudah dia perkirakan.
Grup Jiwanto bekerja sama dengan laboratorium milik Yohan, dan jika proyek Profesor Yohan berhasil, Grup Jiwanto tentu akan memperoleh banyak keuntungan.
Shayna kembali ke tanah air kali ini dengan satu tujuan, yaitu menjadi kunci keberhasilan dalam menaklukkan inti teknologi tersebut. Dan dia sangat yakin, dia mampu melakukannya.
Zaman sudah berubah. Ini bukan lagi era ketika perempuan bisa memenangkan hati pria hanya dengan memasak beberapa hidangan dan bersikap manja.
Perempuan harus punya kemampuan. Barulah pria akan benar-benar memandangnya.
Dan Shayna ingin menjadi perempuan yang benar-benar punya kemampuan.
...
Yasmin sibuk sepanjang pagi. Di tengah kesibukannya, dia sempat ke pantri untuk menyeduh kopi, sekaligus membawakan satu cangkir untuk rekan kerjanya.
Tiba-tiba, sebuah panggilan masuk dari Carmen.
Dia adalah sekretaris Cakra.
Satu-satunya interaksi antara Yasmin dan sekretaris itu hanyalah ketika Yasmin pernah menanyakan jadwal Cakra padanya.
Sebenarnya Yasmin tidak ingin lagi berhubungan dengan siapa pun yang berkaitan dengan Cakra. Namun Carmen adalah gadis muda yang hangat dan ramah, sehingga setelah ragu sejenak, dia tetap mengangkat telepon.
[Yasmin, kamu ... kamu baik-baik saja sekarang?] suara Carmen sangat pelan.
"Aku baik-baik saja." Yasmin tidak tahu kenapa dia bertanya begitu.
Nada suara Carmen terdengar penuh kekhawatiran. [Tadi Pak Cakra datang ke kantor ... membawa seorang wanita. Semuanya heboh. Para petinggi bahkan menganggap wanita itu calon istri Pak Cakra ... ] Dia ragu sejenak, lalu menambahkan, [Aku nggak tahu kamu sudah dengar atau belum, jadi aku pikir sebaiknya aku beri tahu ... wanita itu bernama Sha ... ]
Suara Carmen tiba-tiba terputus.
Lalu terdengar suara pelan yang sedikit panik. "Pak ... Luki, aku ... "
Carmen bersembunyi di balik sebuah sudut dinding, tak menyangka Luki muncul dari belakangnya.
Luki langsung meraih ponsel dari tangan Carmen, melirik sekilas ke layarnya, lalu mengernyit tajam.
"Dia menghubungimu lagi untuk menanyakan jadwal Pak Cakra, ya?"
Carmen melihat Cakra berdiri tidak jauh di belakang Luki bersama seorang wanita yang tak lain adalah Shayna. Wajahnya langsung memucat, seolah pikirannya membeku, tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun.
Tanpa menunggu jawaban, Luki melapor dengan nada profesional dan tegas, "Pak Cakra, itu dari Yasmin. Dia kembali menanyakan jadwalmu."
Luki tidak menutup sambungan telepon. Dia memang tidak takut jika Yasmin mendengarnya.
Alis Yasmin berkerut tajam.
Dia sama sekali tidak peduli pada tuduhan Luki. Dia bahkan berniat memutus panggilan, namun suara dingin Cakra lebih dulu terdengar dari seberang. "Tak usah pedulikan dia."
Itulah sikap Cakra terhadapnya selama ini, dingin dan tak pernah benar-benar ingin mendengar penjelasannya.
Yasmin tidak terkejut.
Tanpa mencari tahu kebenarannya, pria itu langsung menyimpulkan yang terburuk tentangnya.
Dulu, Yasmin akan segera menjelaskan, karena dia sangat takut Cakra salah paham. Dia takut membuatnya marah.
Tapi sekarang mereka sudah bercerai. Sudah tidak ada alasan lagi baginya untuk terus memikirkan perasaan Cakra, apalagi mengkhawatirkan hubungannya dengan Shayna.
Namun, satu detik kemudian, suara Cakra yang lebih dingin dan tegas kembali terdengar. "Besok, kamu nggak usah masuk kerja lagi."
Yasmin tertegun. Cakra hendak memecat ... Carmen?
Benar. Saat pertama kali Yasmin menghubungi Carmen, Cakra langsung ingin memecatnya.
Saat itu, Yasmin memohon dengan sangat agar Carmen bisa tetap kerja di Grup Jiwanto. Cakra akhirnya mengizinkan, tetapi dia juga memberi peringatan tegas. Tidak akan ada pengecualian untuk kedua kalinya.
Dan kini, benar saja, tidak ada pengecualian.
Cakra tidak pernah menunjukkan belas kasih padanya.
"Cakra, nggak perlu semarah itu hanya karena seorang sekretaris kecil."
Itu ... adalah suara Shayna, bukan?
Begitu lembut nadanya.
Selembut namanya.
Shayna membujuk, "Bagaimana kalau nanti makan siang aku yang traktir? Anggap saja demi aku, jangan marah lagi, ya?"
Beberapa detik kemudian terdengar jawaban. "Baiklah."
Nada suara Cakra datar. Tidak terlalu keras, juga tidak hangat.
Namun bila dibandingkan dengan ucapannya barusan yang penuh ketegasan dan dingin, yang ini ... sudah jauh lebih lembut.
Shayna terkekeh pelan. "Kalau begitu, ayo kita pergi."
Setelah itu, suara Cakra dan Shayna tak terdengar lagi.
Yasmin tersenyum pahit.
Dia selalu mengira Cakra adalah pria yang sulit dibujuk. Dulu, setiap kali mereka bertengkar, Yasmin butuh waktu berhari-hari untuk membuat suasana kembali membaik. Cakra baru akan menunjukkan wajah yang sedikit ramah setelah dia bersusah payah dengan segala cara.
Setiap proses itu adalah siksaan batin bagi Yasmin. Dia kehilangan nafsu makan, terjaga sepanjang malam, dan tak bisa fokus mengerjakan apa pun, selama Cakra masih marah.
Tapi kini, bersama Shayna, satu kalimat sudah cukup. Semudah itu.
Luki memandangi ponsel yang masih tersambung, tahu persis bahwa Yasmin mendengar semuanya.
Yasmin bukan tipe yang suka merepotkan orang lain. Sekarang, karena dia, Carmen terancam kehilangan pekerjaannya. Yasmin pasti akan merasa bersalah dan dihantui rasa bersalah itu.
Meski hukuman secara langsung dijatuhkan kepada Carmen, sebenarnya itu adalah bentuk hukuman batin bagi Yasmin.
Dengan begitu, lain kali dia tidak akan berani lagi melakukan hal-hal diam-diam di belakang.
Jika ada yang harus disalahkan, Yasmin-lah yang salah karena selalu ingin tahu jadwal Cakra.
Kalau segala hal harus diawasi oleh seorang wanita, Luki, yang membayangkan dirinya berada di posisi Cakra, sudah merasa sesak napas.
Luki lalu melambaikan tangan. Kepala sekretaris yang sejak tadi menunggu di sisi lain, segera menghampirinya.
Kepala sekretaris bernama Rossy itu berkata, "Urusan pengunduran dirinya akan kami selesaikan hari ini."
Luki hanya mengangguk dingin. Lalu dia pun berbalik dan pergi.
Hari Rabu adalah hari ulang tahun Shayna. Sesuai instruksi dari Pak Cakra, Luki harus pergi ke Resto Langit Rasa di Klub Nirwana untuk melakukan reservasi penuh tempat, sekaligus berdiskusi dengan pemilik restoran mengenai kejutan ulang tahun yang akan dipersiapkan untuk Shayna.
Dia sangat sibuk dan tak punya waktu untuk mengurusi urusan seorang sekretaris kecil yang akan keluar dari perusahaan.
Rossy menerima ponsel yang diberikan Luki dan hendak mengembalikannya kepada Carmen. Namun tanpa sengaja, dia melihat layar panggilan bertuliskan Yasmin.
Ekspresinya langsung berubah, alisnya berkerut tajam. Butuh beberapa detik baginya untuk mengingat siapa itu Yasmin. Begitu sadar, nada bicaranya langsung berubah menjadi sinis dan tajam. "Kamu ini bodoh sekali. Dia cuma pembawa bekal untuk Pak Cakra, sudah seperti pembantu. Apa untungnya kamu bikin Pak Cakra kesal demi dia?
Carmen masih syok karena ketahuan langsung oleh sang presiden direktur. Baru sekarang dia berani bicara, itu pun dengan suara gemetar, "Dia ... dia bukan pembantu ... Dia adalah istri sah Pak Cakra ... "
"Kamu buta? Apa kamu nggak lihat Pak Cakra dan Bu Shayna sudah pakai cincin pasangan? Bu Shayna itu jelas-jelas calon istri Pak Cakra, nggak perlu diragukan lagi!"
"Tapi ... bukan begitu ... "
"Sudah, jangan banyak bicara. Cepat bereskan dokumen serah terima!"
Carmen tidak berani berkata apa-apa lagi. Dia hanya diam dan menerima kembali ponselnya dengan tangan gemetar.
Begitu Rossy pergi, dia menunduk untuk memeriksa layar ponsel dan terkejut luar biasa saat melihat panggilan masih tersambung.
Seluruh tubuhnya menegang. [Ya ... Yasmin! Kamu masih di sana? Barusan ... kamu dengar semuanya, ya?]
Carmen berharap Yasmin tidak mendengarnya. Tapi dia tahu, harapan itu mustahil.
[Kamu jangan dengarkan mereka. Kamu bukan pembantu ... Maaf, aku sungguh minta maaf ... ]
Cakra menyembunyikan pernikahannya dari publik. Dia tak pernah membiarkan Yasmin muncul di kantornya.
Setiap kali Yasmin mengantar makanan, dia harus menitipkannya lewat sekretaris. Wajar kalau orang mengira dia hanya seorang asisten rumah tangga. Yasmin pun tak merasa keberatan selama ini.
Yang tak pernah dia sangka adalah Cakra, yang selama ini enggan memakai cincin pernikahan, kini mengenakan cincin pasangan dengan Shayna.
Tangan Cakra memang sangat indah. Panjang, putih, dengan jari-jari yang tegas dan berstruktur. Tampak anggun, tapi tetap menyiratkan kekuatan. Dan ketika cincin berlian melingkar di jari manis kirinya, ada daya tarik tak terlukiskan yang menghantam batinnya.
Setiap ada kesempatan, Yasmin selalu diam-diam memperhatikannya cukup lama.
Namun Cakra hampir tidak pernah memakai cincin pernikahan.
Selama ini, Yasmin selalu mengira itu karena Cakra tidak menyukai rasa terikat yang ditimbulkan oleh perhiasan. Ternyata dia terlalu banyak berharap. Cakra memang tidak mau memakainya sejak awal.
Yasmin tersenyum getir, lalu berkata pelan, "Maaf ya ... Sekarang aku sudah nggak punya cara untuk menyelamatkan pekerjaanmu lagi."
Meskipun Carmen hanya pernah berinteraksi satu kali dengan Yasmin, dia bisa merasakan bahwa Yasmin adalah orang yang sangat baik.
Saat Cakra tiba-tiba menunjukkan perhatian luar biasa kepada wanita lain, Carmen benar-benar merasa khawatir. Karena itulah dia diam-diam menghubungi Yasmin, berharap Yasmin bisa lebih waspada.
Namun usahanya malah berakhir kacau.
Carmen merasa sangat bersalah. [Nggak apa-apa, sungguh nggak apa-apa. Aku bahkan pernah bilang ke kamu kan ... aku memang berencana pulang kampung bantu orang tuaku. Jadi dipecat itu nggak masalah buatku. Surat pengunduran diriku saja sudah setengah jadi!]
Nada bicaranya terdengar tulus, bukan sekadar menenangkan Yasmin. Baru setelah itu Yasmin bisa sedikit lega.
Beberapa detik kemudian, suara Carmen mengecil, seolah menahan perasaan. [Tapi kenapa, ya ... Padahal kamu itu istri sah Pak Cakra. Kenapa beliau bisa memperlakukanmu seperti ini?
Cakra bahkan tidak pernah mengizinkan Yasmin masuk ke ruang kantornya.
Tapi Shayna justru bisa keluar masuk sesuka hati. Atas dasar apa?
Kalaupun Pak Cakra ingin menyembunyikan pernikahan mereka, paling tidak dia bisa berkata bahwa Yasmin adalah saudara atau teman keluarga. Orang-orang juga tak akan berpikir macam-macam.
Terlebih lagi, bekal itu dibuat Yasmin dengan susah payah. Dia bangun pagi demi menyiapkannya, dan di sela jam istirahat, dia masih sempat mengantarkannya sendiri. Tapi hasilnya? Dia ditolak di depan pintu. Apa yang dilakukan Pak Cakra benar-benar menyakitkan.