Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 8

Yasmin sedang berdiri di pinggir jalan, menunggu mobil Yani. Jarak antara dirinya dan mereka sekitar tujuh meter. Ditambah lagi suasana malam yang remang dan keramaian para pejalan kaki, orang yang tidak memperhatikan tentu tidak akan menyadarinya. Namun karena seruan Joni tadi, semua orang secara refleks menoleh ke arahnya. Yasmin membeku. Dia berdiri canggung. Sangat canggung. Tapi reaksi pertama Yasmin justru bukan menunduk atau menghindar, melainkan menatap tangan kiri Cakra. Di jari manisnya, melingkar sebuah cincin pria. Desainnya sederhana dan elegan, menunjukkan kemewahan tanpa berlebihan, cocok sekali dengan jari-jari panjang milik Cakra. Jari Shayna juga mengenakan cincin dengan model yang sama. Itu adalah cincin pasangan. Mengetahui sesuatu dan benar-benar melihatnya secara langsung, adalah dua hal yang sangat berbeda. Benturannya begitu nyata, begitu menyakitkan. Tenggorokan Yasmin tiba-tiba terasa kaku dan sesak. Mobil Yani berhenti di pinggir jalan. Dia mengangkat dagunya sedikit ke arah kursi penumpang depan, memberi isyarat agar Yasmin naik. Tanpa berpikir panjang, Yasmin langsung membuka pintu dan masuk ke dalam mobil, lalu mereka melaju pergi. Semua itu terjadi dalam waktu tak lebih dari satu-dua detik. Joni tampak terkejut, dan menoleh ke arah Cakra. "Barusan Yasmin mengabaikan kita begitu saja?" Dia pergi dengan sangat tegas dan tenang, ekspresinya pun begitu dingin. Padahal dulu, Yasmin mana mungkin sanggup pergi begitu saja? Dia bahkan selalu berusaha keras untuk menyenangkan kelompok mereka. Dan kini, ekspresi dingin yang ditunjukkan Yasmin membuat Joni benar-benar terheran. Perempuan yang selama ini seolah tak pernah memiliki eksistensi kuat itu, tiba-tiba tampak tajam, seolah ada sisi lain dalam dirinya yang muncul. Berbeda dari Yasmin yang mereka kenal selama ini. Padahal ini cuma soal perceraian, hal yang sudah sering Joni lihat di kalangan mereka. Tapi kali ini, sikap Yasmin terasa aneh, meski dia juga tidak tahu persis di mana letak keanehannya. Cakra sudah lebih dulu menarik kembali pandangannya. Suaranya dingin dan tak terbantahkan. "Jangan sebut-sebut dia lagi." Joni sekilas melirik ke arah Shayna. Sejak tadi, dia tidak melihat ke arah Yasmin. Jelas, ini menunjukkan bahwa dia memang tidak peduli. Mungkin, sekali pun Yasmin benar-benar datang ke pesta ulang tahunnya malam ini, Shayna pun tetap bisa menjaga sikap anggun dan tenangnya, tanpa berubah sedikit pun. Sadar akan situasi ini, Joni pun langsung mengangguk. "Baiklah, aku nggak akan membahasnya lagi. Nanti malah ngerusak suasana." Setelah itu, dia memanggil rombongan dan memimpin mereka masuk ke dalam restoran. Bagi mereka, kemunculan Yasmin barusan hanyalah selingan kecil yang tidak penting. Tak satu pun dari mereka yang benar-benar menganggapnya serius. Lagi pula, mereka semua pernah bertemu Yasmin sebelumnya. Dia dikenal pendiam, canggung, dan tidak pernah benar-benar bisa akrab dengan kelompok ini. Tak ada urgensi untuk menyapa, apalagi membicarakannya. Terlebih lagi, malam ini adalah perayaan ulang tahun Shayna. Siapa yang cukup bodoh untuk merusak suasana hanya karena ingin berinteraksi dengan Yasmin? Mungkin hanya Joni, yang hubungannya sangat dekat dengan Cakra, yang cukup berani melontarkan hal sensitif seperti itu. Kalau orang lain yang melakukannya, kemungkinan besar sudah akan "dihabisi" oleh Cakra. Bagi Cakra, Shayna adalah sosok paling berharga. Siapa pun boleh dijadikan musuh, asal bukan dia. Dan tentu saja, Shayna adalah putri keluarga Kamara. Anggun, dingin, dan memiliki status tinggi. Dibandingkan dengan Yasmin, yang tidak punya kedudukan dan latar belakang berarti, Shayna jelas jauh di atas. Dalam pandangan Shayna, menurunkan pandangan ke arah Yasmin saja sudah membuat dirinya terlihat murah. Jadi, tak seorang pun dari mereka menyebut nama Yasmin. Semua perhatian hanya tertuju pada Shayna, masing-masing berusaha menunjukkan perhatian dan pujian. Namun di tengah keramaian itu, Joni masih sempat menarik Cakra ke samping dan berbisik, "Kamu tadi lihat nggak, Yasmin bawa kantong hadiah di tangannya?" Cakra memang sempat melirik, tapi tak terlalu memedulikan detail kecil seperti itu. Melihat Cakra mulai kehilangan kesabaran, Joni buru-buru menambahkan, "Aku kan pernah cerita ke kamu ... soal Yasmin yang jual cincin nikahnya terus masuk toko perhiasan lain. Nah, merek di kantong yang dia bawa itu sama. Sepertinya dia beli cincin baru dan mau berdamai sama kamu ... tapi sayangnya situasinya tadi terlalu canggung." Cakra mengernyit, mencoba mengingat. Benar juga, Yasmin tadi memang membawa kantong kecil. Dia kemudian menunduk, memandangi cincin di jari manis kirinya. Cincin dengan desain yang sederhana namun mewah itu adalah hadiah dari Shayna. Dulu pun Cakra sempat salah paham sekali. Sekarang, setelah sekian lama baru Yasmin menunjukkan tanda ingin berdamai? Menurutnya, semuanya sudah terlalu terlambat. Bahkan kalau ini permainan tarik-ulur pun, tetap harus tahu batas. Wajah Cakra tetap dingin dan tenang, suaranya datar tanpa emosi. "Nggak ada jari lagi buat pakai hadiahnya." Joni terdiam. Apa maksudnya tidak ada jari lagi? Tangannya kan bukan cuma punya satu jari? Joni masih ingin membalas, tapi Cakra sudah berjalan menjauh, tak memberinya kesempatan bicara lebih lanjut. Mengapa Yasmin bisa muncul di sana, atau siapa yang menjemputnya dan membawanya pergi, semua itu tampaknya tidak penting bagi Cakra. Dia sama sekali tidak tertarik untuk tahu. Malam ini, hal yang paling penting bagi Cakra hanyalah satu. Merayakan ulang tahun Shayna dengan sebaik mungkin. Joni tertinggal di belakang rombongan, melangkah lebih lambat dari yang lain. Saat mereka hampir berbelok ke dalam restoran, dia sempat menoleh ke belakang. Bayangan Yasmin sudah tak terlihat sama sekali. Namun dia cukup yakin dengan apa yang dia lihat tadi. Pengemudi mobil yang menjemput Yasmin adalah seorang wanita. Dan itu memang masuk akal. Karena dalam pandangan Yasmin, tak ada tempat untuk pria lain di hatinya selain Cakra. ... Mobil melaju mulus di jalan malam, tapi pikiran Yasmin kosong. Dia tidak bisa menghentikan dirinya dari membandingkan ulang tahunnya yang dulu-dulu dengan yang sekarang. Semakin dipikirkan, semakin sesak rasanya di dada. Butuh waktu cukup lama sebelum akhirnya dia berkata pelan, "Masih dua puluh lima hari lagi." Yani sempat mengira Yasmin akan menangis, atau setidaknya mengeluh seperti wanita yang sedang patah hati. Lagi pula, melihat langsung pria yang dicintainya bersama wanita lain adalah suatu pukulan besar yang sangat menyakitkan. Tak disangka, dari mulut Yasmin tiba-tiba keluar angka. "Dua puluh lima." Yani menoleh, bingung. "Dua puluh lima apa?" Yasmin menjawab dengan tenang, "Masa tenang perceraian. Setelah dua puluh lima hari, aku dan dia akan resmi bercerai." Yani menatap Yasmin, dan melihat keteguhan yang belum pernah dia lihat sebelumnya di mata sahabatnya. Cakra memang pria yang tampan. Usianya baru 28 tahun, masih muda. Keluarga Jiwanto juga merupakan salah satu keluarga paling elite di Kota Lohari. Sejak Cakra mengambil alih Grup Jiwanto, dia melakukan reformasi besar-besaran dan sukses membawa perusahaan ke level yang lebih tinggi. Meskipun kini banyak miliarder baru bermunculan di kota itu, Keluarga Jiwanto tetap berdiri kokoh di puncak piramida kekuasaan. Cakra punya segalanya. Wibawa, pendidikan, kemampuan manajerial, dan ketenangan. Di antara generasi muda, dia adalah sosok paling menonjol. Tak heran jika banyak wanita jatuh cinta padanya, dan itu hal yang sangat wajar. Namun Yasmin bukan jatuh cinta hanya karena semua keistimewaan itu. Baginya, semua pencapaian dan status Cakra hanya permukaan dan tidak cukup untuk membuat Yasmin rela mengorbankan dirinya sepenuhnya. Masih ada satu alasan yang jauh lebih penting. Tiga tahun lalu, ketika ibunya mengalami kecelakaan, Yasmin sempat kehilangan arah. Dalam kondisi mental yang rapuh, dia jatuh ke laut secara tidak sengaja. Kebetulan waktu itu Cakra sedang berpesta di atas kapal pesiar bersama teman-temannya. Dialah yang terjun dan menyelamatkan Yasmin, membawanya ke rumah sakit. Hari itu, Cakra memberi Yasmin harapan baru dalam hidupnya. Itulah kenangan yang tidak bisa Yasmin buang, dan alasan yang membuatnya tak bisa benar-benar melepaskan Cakra. Dan Yani bisa memahaminya sepenuhnya. Sekarang, Yasmin bahkan mencatat hari-hari masa tenang perceraian di dalam hati. Ini adalah sesuatu yang tak pernah dia lakukan sebelumnya. Mungkin kali ini Yasmin benar-benar tidak akan menoleh ke belakang lagi. Dan itu adalah hal yang baik. Hanya saja, emosi tetap butuh waktu untuk pulih. Bagaimanapun, dia pernah mencintai dengan sangat dalam. Tidak mungkin bisa pulih seketika. "Sekarang lupakan saja orang-orang brengsek itu. Buka hadiahnya dulu," kata Yani, yang semula khawatir Yasmin akan ragu-ragu soal perceraiannya, namun kini hatinya jadi jauh lebih tenang. Yasmin juga ingin mengalihkan pikirannya. Dia membuka kantong kado dengan patuh. Awalnya dia mengira isinya kalung. Tapi ternyata ... isinya cincin. Bukan satu, tapi dua cincin, dan semuanya untuk wanita. Yasmin mengerutkan alis, agak bingung. "Kenapa kamu kasih aku dua cincin?" Yani langsung menjawab, "Jangan terlalu percaya diri. Bukan dua-duanya buat kamu. Ini cincin versi sahabat. Satu buat kamu, satu buat aku." Yasmin tampak terkejut. "Wah, ini jarang sekali. Hadiah persahabatan bentuknya cincin?" Yani menjawab dengan santai, "Itu cuma stereotip. Cincin berlian bukan cuma bermakna kalau dikasih oleh pria. Aku juga bisa kasih ke kamu." Dia lalu mencibir, "Lagi pula, bekas cincin kawin di jari manis kamu itu terlalu mencolok. Pakai yang dari aku saja, sekalian nutupin dan buang sial." Selesai bicara, Yani menunggu reaksi dari Yasmin dengan ekspresi penuh harap. Namun, tidak ada reaksi yang Yani harapkan. Yasmin menerima hadiah itu, tapi bahkan sepatah "terima kasih" pun tidak keluar. Mana bisa begitu? Namun saat Yani menoleh, dia justru mendapati mata Yasmin sudah memerah. Tadinya Yani berpikir dia akan menggoda atau meledek Yasmin. Namun, saat melihat ekspresi sedih yang tulus dari sahabatnya, semua canda lenyap. Yang tersisa hanya rasa tak tega, dan sakit hati yang ikut terpantul. Dia pun memilih diam, menyetir dalam hening. Keheningan Yani memberi ruang bagi Yasmin untuk memproses semua emosinya sendiri. Beberapa saat kemudian, sebuah tangan menepuk bahu Yasmin dengan lembut. itu pelukan dalam bentuk lain, isyarat bahwa dia tidak sendirian. Hadiah tadi, nyatanya lebih bermakna dari kata-kata manis mana pun. Yasmin menggenggam erat kotak cincin itu, lalu mengangkat tangan dan menepuk punggung tangan Yani, membalas perhatian itu, seolah berkata, "Tenang, aku baik-baik saja." ... Setelah makan malam, Yani mengusulkan untuk mengantar Yasmin pulang, sekalian ingin melihat tempat tinggal barunya. Yasmin kini tinggal di apartemen Kemuning Indah, dan ini adalah pertama kalinya ada yang datang berkunjung. Maka dia pun mengiakan, bahkan memutuskan untuk mengajak Yani menginap semalam di rumahnya. Namun, dalam perjalanan pulang, Yasmin tiba-tiba menerima telepon. [Kak, Kelvin kebanyakan minum saat jamuan sama klien. Sakit maag akutnya kambuh. Sekarang sedang diinfus di rumah sakit. Kakak bisa datang lihat sebentar nggak?]

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.