Bab 10
Aku menatapnya dengan penuh keheranan.
Sigit segera mengeluarkan hasil pemeriksaan dan menunjukkannya padaku, jelas terlihat betapa antusiasnya dia menyambut kehidupan baru ini. "Aku benar-benar ketakutan melihat kamu tiba-tiba pingsan tadi malam."
"Dokter langsung membawamu untuk diperiksa, dan baru saat itulah kami tahu ... kamu sedang hamil."
"Akhir-akhir ini kamu mengalami terlalu banyak tekanan. Emosimu juga nggak stabil sehingga menyebabkan kondisi janin menjadi nggak stabil."
"Kamu harus dirawat di rumah sakit untuk sementara waktu, dan menjaga kandunganmu dengan baik."
Aku mengambil hasil pemeriksaan itu, tatapanku jatuh pada lembaran hasil pemeriksaan itu. Gambar calon bayi yang masih belum terbentuk sempurna membuat mataku tak bisa berpaling.
Hati yang sebelumnya telah hancur berkeping-keping, akhirnya mendapat sedikit penghiburan pada saat itu.
Aku tak bisa menahan diri untuk mengangkat tangan dan menyentuh lembut kehidupan kecil yang baru saja hadir ini. Berbagai pikiran kembali bermunculan di kepalaku.
Ayahku meninggal saat aku masih kecil, dan aku tumbuh dalam keluarga dengan orang tua tunggal.
Aku benar-benar ... tidak ingin anakku mengalami masa kecil yang sama seperti aku.
Lalu, aku pun membuka mulut dan berkata, "Sigit."
Sigit tampak bingung kenapa aku tiba-tiba memanggil namanya, "Hm?"
Aku mengangkat kepala, seolah-olah telah mengambil keputusan besar.
"Aku akan lupakan semua yang terjadi sebelumnya. Demi anak ini, mari kita jalani hidup seperti dulu lagi, dengan baik-baik, bagaimana?"
Sigit menatap mataku, lalu mengangguk. "Tentu."
Sesaat kemudian, Sigit mengeluarkan sebuah kotak beludru merah. Dengan sedikit gugup, dia membukanya. "Sayang."
Di dalam kotak itu ada sepasang anting berbentuk bunga lily.
Sejak kami menikah sampai sekarang, dia jarang memberiku hadiah. Aku sedikit terkejut. "Ini apa?"
Sigit menjawab dengan nada agak gugup, "Hadiah untukmu."
Aku menerimanya. "Terima kasih."
Tak peduli apa pun yang telah terjadi beberapa hari terakhir ini ...
Setidaknya untuk saat ini, aku kembali merasakan kebahagiaan yang sudah lama hilang karena kehadiran kehidupan kecil ini.
Sigit lalu menerima telepon, katanya ada urusan kantor. Dia mengecupku pelan, lalu pergi.
Aku mengangkat tangan dan dengan lembut membelai perutku.
Ekspresiku pun menjadi semakin lembut.
"Ding dong."
Terdengar bunyi notifikasi dari ponsel. Aku membukanya tanpa pikir panjang.
Itu pesan dari Sandi, sebuah tangkapan layar dari unggahan sosial media milik Jenny.
Aku mengetuk layarnya dan melihat isi pesannya.
"Terima kasih untuk Pak Sigit yang sudah mengirimkan cincin berlian besar pagi ini."
"Omong-omong, selera perusahaan perhiasan itu benar-benar buruk. Masa hadiah tambahannya cuma sepasang anting lily yang sangat jelek? Hanya melihatnya saja sudah mengganggu pandanganku, jadi aku suruh dia buang saja."
Unggahannya disertai foto selfie.
Yang paling mencolok adalah tangannya yang menopang dagu, memperlihatkan cincin berlian besar di jari manisnya.
Berlian itu sangat mahal, dan potongannya pun sempurna.
Bahkan hanya dari gambar saja, kilauan berlian itu terlihat jelas.
Tanganku menggenggam ponsel erat-erat, sudut bibir yang sempat dicium oleh Sigit terasa panas seperti terbakar, membuatku merasa mual.
Selama aku pingsan ...
Suamiku sama sekali tidak menunjukkan kekhawatiran padaku. Sebaliknya, dia malah menghamburkan banyak uang untuk membantu Jenny mendapatkan cincin berlian mahal itu.
Setelah aku sadar, dia justru mencoba mengambil hatiku dengan barang sisa yang bahkan ditolak oleh Jenny?
Apa dia mengira aku begitu tak berharga?
Apa dia mengira aku bisa dengan mudah luluh hanya karena diberi barang buangan dan langsung memaafkan semua yang telah dia lakukan?
Perasaan putus asa yang bertubi-tubi menyapu seluruh diri ini, nyaris membuatku tenggelam.
Kenapa?
Kenapa dia terus-menerus menyakitiku tanpa rasa bersalah sedikit pun!
Kenapa dia selalu berusaha memenangkanku kembali dengan rayuan murah yang tak berarti ...
Aku menggigit bibir, merasa dunia berputar di depan mataku.
"Drrr ... drrr ... "
Baru setelah mendengar dering telepon, aku memaksa diri keluar dari keputusasaan yang menelanku.
Aku menjawab telepon, "Halo?"
[Mama, aku kangen sama Mama. Bisa nggak Mama datang menemuiku?]
Suara Sandi terdengar agak murung.
Kemarin dia sudah melakukan hal yang menyakiti dirinya sendiri.
Aku khawatir emosinya akan terganggu dan dia akan melakukan hal nekat lagi, jadi aku langsung bangkit berdiri. "Mama datang sekarang. Kamu ada di mana?"
[Mama keluar dulu]. Suara polos Sandi tak menunjukkan emosi. [Belok kiri, lalu terus jalan.]
Aku mengikuti arahannya dan terus berjalan ke depan ... sampai akhirnya kulihat Sandi sedang berdiri di tangga.
Cahaya yang masuk melalui jendela jatuh di wajahnya yang pucat, membuatnya terlihat begitu rapuh.
Hubungan darah memang aneh.
Meskipun dia sudah melakukan begitu banyak hal yang menyakitiku, aku tetap merasakan iba saat melihat ekspresinya yang lemah seperti itu.
Aku berjongkok di depannya. "Ada apa, Sayang?"
Sandi menatapku serius. "Tante Jenny bilang ... Mama sedang hamil. Jadi meskipun Papa nggak menyukai Mama, dia tetap akan mempertahankan pernikahan ini demi bayi itu, 'kan?"
Hatiku tercekat. Untuk apa Jenny mengatakan hal-hal seperti itu pada Sandi?
Saat aku masih ragu memikirkan bagaimana harus menjelaskan semuanya pada Sandi.
Dia tiba-tiba berkata, "Dia juga bilang, aku sudah melakukan banyak hal yang bikin Mama marah."
"Nanti kalau Mama punya adik bayi, perhatian Mama pasti akan pindah ke mereka ... dan Mama nggak akan sayang aku lagi."
Setelah tahu aku hamil, ternyata dia memikirkan begitu banyak hal sendirian?
Hatiku tiba-tiba terasa lembut.
Dia masih anak-anak, dan saat menghadapi masalah, dia tidak tahu bagaimana meminta bantuan pada orang dewasa.
Aku meletakkan kedua tanganku di bahunya, menatapnya dengan sungguh-sungguh dan berkata, "Bukan seperti itu, Sandi. Kamu adalah anakku."
"Nggak peduli apakah Mama punya anak lagi atau nggak, Mama akan tetap mencintaimu dengan cara yang sama."
"Tante Jenny juga bilang ... " Sandi tiba-tiba menyeringai.
"Kalau bayi itu nggak ada, Papa cuma akan sayang aku, mendengarkan aku, menceraikan Mama, lalu nikah sama Tante Jenny."
Ucapannya membuatku merinding.
Bagaimana mungkin Jenny mengatakan hal-hal kacau seperti itu kepada anak kecil?
Aku langsung terpikir untuk menggendongnya kembali ke ruang perawatan dan berbicara baik-baik dengannya.
Masalah orang dewasa seperti ini seharusnya tidak melibatkan anak-anak.
Namun, sebelum aku sempat melangkah maju, tubuhku malah tergelincir ke belakang ...
"Dug!"
Suara benturan keras terdengar bersamaan dengan suara permintaan maaf Sandi. "Mama, maaf ... "
"Mama Jenny menyiram minyak di tangga."
"Dia bilang, asal aku bisa memanggil Mama ke sini ... "
Darah hangat mulai mengalir ...
Rasa sakit yang hebat menjalar ke seluruh tubuh, nyaris tak tertahankan. Tapi yang paling menyakitkan justru di dada, seperti hati ini tercabik-cabik ...
Kepalaku pun terasa sangat pusing ...
Sandi!
Meskipun akhir-akhir ini dia semakin sering bertindak semaunya.
Aku selalu maklum karena dia masih anak-anak dan tidak pernah benar-benar menyalahkannya.
Tapi ...
Sekecil apa pun dia, seharusnya dia tetap punya hati nurani!
Namun dia justru membiarkan ibunya sendiri dijebak oleh orang lain begitu saja ...
Aku berusaha keras membuka mataku lebar-lebar, dan ingin melihat Sandi dengan jelas.
Namun bayangan tubuh kecil itu justru berlari menjauh di lorong ...
Aku berusaha sekuat tenaga untuk berteriak, "Tolong! Tolong aku, siapa pun ... !"
Tapi rasa sakitnya begitu hebat, sampai-sampai aku tak bisa mengeluarkan suara ...
Keringat terus mengucur deras, menetes ke dalam genangan darah yang semakin banyak ...
Air mata pun ikut jatuh.
Sandi ...
Sandi!
...
"Sayang ... "
Mata Sigit memerah dipenuhi urat darah. Pria yang selama ini selalu kuat dan tegar, suaranya pun kini bergetar. "Anaknya ... nggak bisa diselamatkan."
"Mama, aku salah ... "
Sandi tampak benar-benar ketakutan, wajah kecilnya pucat pasi, air matanya jatuh tanpa henti. "Maafkan aku ... "
Tapi ...
Bagaimana aku bisa memaafkannya?
Di saat dia menuntunku ke tangga itu, di saat dia berlari pergi dengan wajah dingin ...
Hatiku terhadapnya ... sudah benar-benar mati rasa.
Sandi masih terus meminta maaf tanpa henti.
Aku tetap tidak berkata apa-apa.
Sandi tampaknya tak menyangka aku akan diam selama ini. Setelah bicara beberapa saat, dia malah menjadi kesal. "Kalau Mama nggak mau maafin, ya sudah! Aku juga nggak mau Mama jadi mamaku lagi!"
Aku menatap Sandi, suaraku terdengar serak dan kering. "Sandi, bukankah kamu dari dulu selalu ingin Tante Jenny jadi mamamu?"
Sandi tidak tahu maksud ucapanku, dan hanya mengangguk dengan bingung.
"Baiklah." Aku tiba-tiba tersenyum. "Mulai hari ini, Mama akan kosongkan posisi sebagai mamamu."
"Mulai sekarang, Mama bukan lagi mamamu. Siapa pun yang kamu suka, silakan anggap dia sebagai mamamu."
Mata Sandi langsung memancarkan kegembiraan yang luar biasa.
Di sisi lain, Sigit merasa tidak enak setelah mendengar perkataanku. "Sayang, jangan gegabah."
"Tenang saja, aku sangat tenang." Saat aku mengucapkan itu, hatiku pun sudah tenang seperti air mati.
Tanpa gelombang. Tanpa rasa.
Aku menutup mataku. "Sigit, biarkan drama ini berhenti di sini."
"Aku akan merelakan kalian. Jadi, tolong ... kalian juga lepaskan aku."