Bab 9
Sigit menjawab dengan nada penuh penyesalan, "Aku dan dia sudah punya anak."
"Itu kenapa kamu diam-diam membiarkan Jenny bertemu Sandi di belakang Annika, ya?"
Orang itu bertanya dengan nada antusias, "Asal Sandi mengakui Jenny sebagai mamanya, kamu tinggal bawa anak itu dan hidup bersama cinta pertamamu!"
Yang lain ikut bersorak, "Dasar kamu, memang licik tapi cerdas juga!"
"Langkah sejauh itu pun sudah kamu rencanakan!"
Jadi ...
Pertemuan antara Jenny dan anakku, semuanya atas perintah Sigit?
Pantas saja ...
Setiap kali Sigit mengirim anak ke rumah ibu mertuaku, ibunya malah menyerahkan anak itu ke rumah Jenny.
Agar mereka bisa membangun hubungan perasaan.
Pantas saja ...
Guru-guru di taman kanak-kanak pun memanggil Jenny sebagai ibunya Sandi.
Dan hanya aku yang bodoh, masih berusaha meyakinkan diri sendiri untuk terus memaafkan.
Seluruh tubuhku gemetar hebat, tak bisa dikendalikan. Aku berusaha sekuat tenaga untuk menenangkan diri, tapi semua itu sia-sia.
Sigit belum sempat menjawab pertanyaan itu.
Tiba-tiba ponselnya berdering.
Dia langsung mengangkatnya. "Halo, Jenny?"
"Apa? Kamu bilang Sandi menyayat pergelangan tangannya?"
"Tunggu, aku akan segera ke sana!"
Aku seperti tersambar petir.
Di depan gerbang sekolah, dia dengan jelas memilih Jenny di antara kami berdua.
Bukankah, setelah pulang bersama Jenny, seharusnya dia merasa bahagia?
Lalu kenapa tiba-tiba dia malah merasa putus asa?
Aku tak bisa menemukan jawabannya.
Pukulan demi pukulan yang datang bertubi-tubi seakan menguras seluruh tenagaku. Aku berpegangan pada dinding, berusaha menegakkan tubuhku, tapi kakiku begitu lemas hingga tubuhku perlahan jatuh ke bawah. "Sandi ... "
Sigit berlari keluar dari kantor. Begitu melihatku, dia pun tertegun di tempat.
Di hadapan teman-temannya, aku benar-benar berharap bisa terlihat kuat dan bermartabat. Tapi air mataku tetap tak bisa dibendung.
Teman-teman di belakangnya pun ikut terdiam.
Mereka saling berpandangan satu sama lain.
Tak satu pun dari mereka yang tahu harus berkata apa.
Melihat betapa hancurnya aku saat itu, Sigit langsung memelukku dan mengangkat tubuhku. "Sayang, Sandi akan baik-baik saja. Kamu nggak perlu terlalu khawatir."
Aku menutupi wajahku dengan kedua tangan, dan tak ingin mempermalukan diri lebih jauh di hadapan orang lain.
Sigit hampir berlari kecil saat membawaku masuk ke dalam lift.
Teman-temannya tertinggal jauh di belakang.
"Itu Annika?"
"Baik dari segi penampilan maupun bentuk tubuh, jauh lebih bagus dari yang kubayangkan."
"Pantas saja Sigit nggak tega buat cerai."
"Kalau aku punya istri secantik itu, dan sepenuh hati mencintaiku, aku juga pasti akan menjalani hidup baik-baik dengannya."
"Aku iri sekali sama Sigit."
...
Sigit membuka pintu mobil, lalu menaruhku di kursi penumpang depan.
Aku sudah tak punya tenaga lagi untuk melawan, hanya duduk diam di sana, membiarkan Sigit memasangkan sabuk pengaman untukku.
"Sayang ... " Sigit berdiri di sampingku, tangannya yang besar berusaha menghapus air mataku.
Tapi air mataku tak pernah habis. Semakin dia usap, semakin deras.
Sigit ingin menjelaskan sesuatu.
Tapi aku tidak ingin mendengarnya sekarang. "Cepat pergi ke rumah sakit. Kita lihat dulu bagaimana keadaan Sandi sebenarnya."
Sigit pun cemas akan keselamatan Sandi. Dia buru-buru menutup pintu, menyalakan mesin, dan melajukan mobil ke arah rumah sakit.
Tatapannya tertuju lurus ke depan. Tangan kanannya memegang setir, sedangkan tangan kirinya mencoba meraih tanganku.
Tapi aku segera menghindar.
Aku menoleh ke arah jendela, memandangi luar. "Nyetir yang benar."
Sigit takut aku akan salah paham, lalu buru-buru berkata, "Sayang, tolong dengarkan aku. Biar aku jelaskan semuanya baik-baik."
Aku bersandar lemas pada kursi mobil, lalu perlahan memejamkan mata.
"Aku akui, orang yang kucintai pada awalnya memang bukan kamu."
Sigit melirik ke arahku lewat kaca spion, melihatku mengernyit dan tampak jelas enggan mendengarkan.
Dia buru-buru melanjutkan, "Tapi setelah bersamamu selama bertahun-tahun, punya anak, dan membesarkannya bersama-sama ... "
Mendengar itu, aku akhirnya membuka mata dan menatapnya. "Tapi begitu Jenny kembali, kamu sadar, orang yang kamu cintai tetap dia ... "
Belum sempat menyelesaikan kalimat itu, aku sudah terisak hingga tak bisa menahan suara tangisku lagi.
Ternyata ...
Selama bertahun-tahun kami bersama ...
Semua pengorbananku, semua kesetiaan dan cinta yang kuberikan ... hanya sia-sia.
Namun aku tetap memutuskan untuk mengatakan semuanya dengan jelas, "Bahkan ... alasan kamu terus menunda perceraian, bukan karena aku, melainkan karena kamu khawatir Sandi nggak mau ikut kamu."
"Itulah kenapa kamu sengaja meluangkan waktu, membiarkan Jenny dan Sandi membangun hubungan."
"Sigit."
Aku menangis tersedu-sedu, nyaris tak bisa bicara dengan jelas. "Sekarang Sandi sudah menerima Jenny. Dia bahkan cuma mengakui Jenny sebagai ibunya."
"Lalu kamu?"
"Kapan kamu akan bicara soal perceraian denganku?"
Kata-kataku makin lama makin menusuk.
Sigit tampak tak menyangka aku akan semarah ini, suaranya pun terdengar panik. "Nggak, Sayang, tenang dulu!"
Dia bahkan tak berani berhenti bicara, dan buru-buru menjelaskan, "Saat Jenny baru kembali, memang ... aku sempat berinteraksi lagi dengannya untuk sementara waktu."
"Aku kira ... "
"Akan ada perasaan lama yang muncul lagi, tapi ternyata nggak."
Mobil berhenti di depan rumah sakit.
Aku tak mau mendengarkan lagi dan langsung membuka pintu mobil, hendak turun.
Tapi Sigit cepat-cepat melangkah, berdiri menghalangi jalanku. "Waktu aku berinteraksi lagi dengannya, di kepalaku cuma ada satu hal. Aku nggak bisa mengkhianati pernikahan ini!"
Aku mencoba menghindar, melangkah memutari tubuhnya untuk pergi dari sana.
Tapi Sigit kembali mengejarku, berkata pelan namun tegas, "Itu semua karena aku nggak bisa mengkhianatimu."
Aku mendongak, menatap matanya.
Sigit menghela napas, terdengar lelah dan kesal. "Kita sudah dewasa. Kenapa kamu nggak bisa mendengarkan penjelasanku sampai selesai dan hanya diam, memendam amarah sendiri?"
Begitu selesai bicara, dia langsung menekan tubuhku ke pintu mobil. Kedua tangannya menggenggam wajahku, lalu tanpa memberiku kesempatan menolak, dia memaksa mendekat, berusaha menciumku.
Pikiranku penuh dengan bayangan Sandi yang melukai pergelangan tangannya. Aku benar-benar tidak tahu bagaimana keadaannya sekarang.
Tidak ada sedikit pun ruang di hatiku untuk bersikap mesra dengan Sigit.
Aku mendorong bahunya dengan tegas. "Lebih baik kita lihat kondisi Sandi dulu."
Barulah Sigit seperti tersadar. "Baik."
...
Di dalam ruang rawat ...
Sandi duduk diam dengan kepala tertunduk, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Lengan kirinya dibalut perban tebal.
Wajah kecilnya yang biasanya merah merona, kini pucat tanpa sedikit pun warna.
Perasaan yang tadi sempat kutenangkan, kembali terasa nyeri saat melihat kondisinya.
Aku segera melangkah cepat ke sisinya, lalu dengan hati-hati menggenggam pergelangan tangannya, dan bertanya pelan.
"Kenapa kamu melukai dirimu seperti ini, Nak?"
Baru saat itu aku menyadari keberadaan Jenny yang berdiri di samping.
Perempuan inilah yang berusaha menghancurkan rumah tanggaku, merusak hubunganku dengan anakku, dan membuatku begitu marah.
Amarahku meledak tanpa bisa dibendung. "Setelah kamu paksa bawa Sandi pergi, begini caramu menjaganya?!"
Sebelum Jenny sempat membuka mulut, Sandi yang berada di ranjang tiba-tiba bereaksi dengan penuh emosi.
"Jangan hina Tante Jenny! Aku melukai pergelangan tanganku itu karena kamu!"
"Itu semua karena kamu nggak mau cerai sama Papa!"
Aku menatapnya dengan penuh keterkejutan.
Sandi berkata dengan wajah seolah tak bersalah sedikit pun, seakan semua itu masuk akal, "Mama, aku tahu kalau aku menyakiti diri sendiri, kamu pasti akan sedih."
"Tapi justru karena kamu makin sedih, aku akan terus menyakiti diri sendiri."
Mulut kecilnya terus bergerak, seolah dia sama sekali tak sadar betapa kejam kata-katanya. "Sampai ... "
"Sampai ... kamu setuju untuk cerai dengan Papa."
Ucapan itu bagai palu godam besar yang menghantam kepalaku dengan keras.
Begitu keras, sampai pandanganku kabur ... bahkan wajahnya pun tampak berbayang.
Dadaku sakit sampai rasanya sulit bernapas. Aku terengah-engah, mencoba menghirup udara sebanyak mungkin.
Bagaimana mungkin dia tega menyakiti aku seperti ini, hanya karena tahu aku mencintainya?
Belum sempat aku mencari jawabannya, pandanganku tiba-tiba gelap gulita. Seluruh tubuhku kehilangan kendali dan jatuh lurus ke lantai.
"Sayang!"
Di tengah kesadaranku yang mulai kabur, samar-samar kudengar suara panik Sigit.
"Dokter!"
...
Ketika aku sadar kembali, hari sudah berganti pagi.
Sigit duduk di sisi ranjangku dengan wajah penuh senyum. Dia langsung membuka mulut dengan semangat, "Sayang, aku bawa kabar baik."
Segala hal yang terjadi beberapa hari belakangan ini begitu buruk, dan satu demi satu menghantamku sampai aku merasa linglung.
Aku benar-benar tidak bisa membayangkan, masih adakah kabar baik di tengah semua ini. Jadi aku menjawab dengan nada seadanya, "Hm?"
"Kamu hamil!"