Bab 4
Apakah surat ini ditulis oleh Sigit untuk Jenny tepat sebelum pernikahan kami?
Surat yang satu lagi adalah balasan dari Jenny untuknya.
"Surat darimu sudah kuselipkan ke dalam surat balasanku ini, dan kukirimkan kembali bersamaan."
"Sigit, hidupku sekarang sangat bahagia. Semoga kamu bisa memberiku restu."
"Dan tolong jangan hubungi aku lagi, aku takut suamiku salah paham."
Setelah membaca kedua surat itu, hampir semua informasi terasa masuk akal dan saling terhubung.
Jenny jelas-jelas adalah cinta pertama yang tak terlupakan bagi Sigit.
Namun, Sigit begitu membenci Jenny.
Tanganku yang memegang gagang pel mulai menggenggam erat tanpa sadar.
Ternyata, semua itu karena Jenny pernah mengkhianati Sigit.
Sigit meyakinkan dirinya sendiri untuk tidak mempermasalahkan kesalahan yang pernah dilakukan Jenny, untuk tidak peduli pada luka yang pernah ditorehkan Jenny padanya.
Asalkan Jenny bersedia kembali ke sisinya.
Sayangnya ...
Jenny tetap menolaknya.
Baru pada saat inilah aku benar-benar mengerti, mengapa dulu di hari pernikahan kami, dia bereaksi begitu emosional saat temannya menyebut nama Jenny.
Lalu sekarang?
Kenapa dia mengeluarkan dua surat itu?
Apakah dia ingin mengingatkan dirinya sendiri untuk tidak melupakan betapa kejamnya penolakan Jenny, dan akhirnya benar-benar memutuskan untuk menjaga jarak darinya?
Untuk mulai menjalani hidup yang baik bersama denganku?
Ataukah dia takut ...
Meskipun dia sudah mengorbankan segalanya, rela menanggung cemoohan karena mencampakkan istrinya, pada akhirnya Jenny tetap tidak mau menerimanya?
Aku memejamkan mata.
Rasa sakit di hatiku nyaris membuatku pingsan.
Mungkin memang seperti yang dikatakan Sandi.
Satu-satunya orang yang benar-benar dia cintai hanyalah Jenny.
Itulah sebabnya, saat dia memikirkan masa depannya bersama Jenny, dia sama sekali tak pernah mempertimbangkan bahwa satu pilihan darinya saja bisa begitu menyakitiku.
"Driing ... "
Aku berdiri lama di dalam ruang kerja. Baru saat suara dering ponsel terdengar, hatiku yang sakit hingga mati rasa itu, akhirnya seperti mulai kembali merasakan sesuatu.
Aku menekan tombol jawab tanpa ragu.
[Sayang.]
Di seberang sana, suara Sigit terdengar makin rendah dan memikat.
Seperti biasa, dia tetap lembut, [Sedang apa?]
Di hadapanku, Sigit memang selalu seperti ini.
Penuh perhatian dan murah hati.
Dia selalu khawatir aku akan merasa tidak nyaman sendirian di kota asing ini.
Dia sangat pengertian padaku, bahkan nada bicaranya pun selalu dijaga agar tidak terdengar keras.
Seharusnya, aku merasa cukup dan bahagia.
Namun kini, setiap kali mendengar suaranya, yang terbayang justru kenyataan pahit. Di saat aku datang jauh-jauh karena cinta, berharap bisa menikah dengannya ...
Dia malah sibuk memohon agar wanita yang dia cintai sejak dulu mau kembali padanya.
Mungkin dia bahkan mengeluh pada teman-temannya ...
Bahwa kehadiranku telah mengganggu rencana rujuknya dengan Jenny.
[Kenapa diam saja?]
Karena tidak mendapat jawaban dariku, Sigit terdengar sedikit terkejut.
Aku sendiri sudah tidak tahu bagaimana harus menghadapi dia lagi. Tapi saat ini, jelas tidak mungkin untuk terus diam.
Sambil menatap foto dan surat di atas meja, aku pun berkata, "Sedang mengepel."
[Aku menelepon hanya ingin mengingatkanmu ... ]
Sigit sempat terhenti sejenak, baru kemudian melanjutkan, [Di atas meja kerja, ada dokumen rahasia bisnis yang sangat penting. Jadi kamu nggak perlu membersihkan ruang kerja. Nanti setelah aku pulang, akan kuurus sendiri.]
Andai ini terjadi dulu, aku pasti sudah menggoda dia sambil tersenyum, "Bahkan aku pun nggak boleh lihat?"
Tapi aku benar-benar tak bisa mengucapkannya. Butuh waktu lama, hingga akhirnya aku hanya bisa memaksakan satu kata. "Oke."
Sigit langsung menutup telepon.
Aku membawa keluar pel lantai, meninggalkan ruang kerjanya.
Kenapa dia tak ingin aku melihat kedua surat itu?
Apakah dia takut aku akan terluka jika tahu bahwa saat menikahiku, hatinya sebenarnya tak sepenuhnya untukku?
Atau ... apakah dia takut aku tahu bahwa dari awal hingga akhir, orang yang dia cintai hanyalah Jenny?
Atau mungkin ...
Dia sebenarnya diam-diam sudah merencanakan untuk menyingkirkanku ...
Lalu hidup bersama Jenny dan anak-anak, menjadi keluarga lengkap berempat?
Semakin kupikirkan, semakin hancur rasanya hati ini.
Untuk pertama kalinya, aku menyadari bahwa hubungan suami istri yang terlihat penuh cinta selama bertahun-tahun ... mungkin sebenarnya hanyalah fatamorgana.
...
Ding dong.
Suara bel pintu menyadarkanku dari lamunan. Aku melirik jam dinding dan baru sadar sekarang sudah waktunya Sigit pulang kerja.
Aku bangkit dan membuka pintu, namun tidak melihat Sandi.
Aku merasa agak heran. Biasanya, setiap kali Sigit pulang kerja, dia selalu menjemput Sandi sekalian. "Di mana Sandi?"
"Dia masih ngambek, katanya nggak mau pulang," kata Sigit sambil mendekat dan memelukku. "Aku pikir, kita juga sudah lama nggak punya waktu berdua, jadi sekalian aku antar dia ke rumah neneknya."
Dagu Sigit bertumpu di pundakku, nada suaranya manja. "Sayang ... "
Aku benar-benar tidak tahu harus menunjukkan ekspresi seperti apa kepadanya.
Begitu benih keraguan tertanam, dia akan terus tumbuh dan berakar dalam hati ...
Saat baru menikah dulu, dia terlihat begitu mencintaiku, tapi justru saat itu juga, dia masih memikirkan Jenny.
Kini pun, dia tetap menunjukkan cinta yang begitu mendalam.
Namun aku tak bisa menahan diri untuk terus bertanya-tanya. Apakah sekarang dia benar-benar telah jatuh cinta padaku, atau dia masih saja sedang berpura-pura?
Tangan Sigit jatuh di perutku, mengelusnya dengan lembut.
Aku tersadar. "Hm?"
Sigit bertanya dengan nada hati-hati, "Bagaimana kalau kita punya anak lagi?"
Aku tertegun. "Kenapa?"
"Setelah aku kembali ke kantor hari ini, aku banyak berpikir," ucap Sigit dengan tenang dan perlahan. "Dulu aku memang sangat menyukai Jenny. Tapi setelah dia kembali ... setelah aku benar-benar berinteraksi lagi dengannya ... "
"Aku tetap merasa, hari-hariku bersamamu adalah saat-saat yang paling membahagiakan."
Tanpa sadar, aku berbalik dan menatap mata Sigit.
Ekspresinya serius, tampak tidak seperti sedang berbohong.
Aku ragu-ragu sejenak lalu berkata, "Kalau memang begitu ... maka tenangkan hatimu, dan jalani hidup ini bersamaku dengan sungguh-sungguh ... "
Sigit memegang wajahku dengan kedua tangannya, lalu tersenyum dan mencium bibirku. "Di perjalanan tadi, aku ngobrol dengan Sandi. Katanya, dia juga ingin punya adik laki-laki atau perempuan."
"Kamu tahu kan, mimpiku sejak dulu adalah punya dua anak."
"Jadi, Sayang ... "
"Jangan tolak aku, ya?"
Tatapan matanya begitu dalam dan penuh kasih, seolah memikatku, membuatku tak mampu menolak.
Kami sudah punya seorang putra.
Kalau ditambah seorang putri ...
Mungkin setelah itu, dia benar-benar akan menetapkan hati, dan hidup tenang bersamaku. Sandi pun, setelah memiliki adik laki-laki atau perempuan, akan mulai memikul tanggung jawab sebagai kakak menjadi lebih pengertian dan penurut.
Segalanya akan kembali ke jalurnya.
Masa depan yang indah seperti itu membuatku terbuai ...
Aku mengangguk.
Melihatku setuju, Sigit langsung melingkarkan satu tangan di pinggangku, tangan lainnya menahan belakang kepalaku, lalu dia mengecupku tanpa memberiku kesempatan menolak.
Aku memejamkan mata, menerima semuanya.
Di saat yang sama, aku diam-diam meyakinkan diriku sendiri.
Bagaimanapun juga, Sigit tidak benar-benar berselingkuh, dan dia pun bersedia memutuskan hubungan dengan Jenny.
Adapun soal Sandi, aku akan lebih sabar membimbingnya, perlahan-lahan membantu dia memperbaiki kebiasaan lamanya.
Mulai sekarang, kami akan kembali menjadi keluarga biasa yang sederhana, utuh, dan damai.
"Driing!"
Nada dering ponsel yang nyaring memecah suasana yang penuh gairah.
Sigit bahkan tak melirik siapa yang menelepon. Dia langsung ingin mematikan ponselnya dan melemparkannya ke samping.
Namun, aku sempat melihat nama yang terpampang di layar, dan darahku seolah langsung membeku. Aku mendorongnya keras. "Itu panggilan dari Jenny."
Bukankah dia sudah bilang akan memblokir semua kontak Jenny?
Kenapa Jenny masih bisa menghubunginya?
Sigit bahkan belum sempat melihatku, dan langsung berbalik mengambil ponselnya.
[Sigit, bagaimana ini? Sandi keracunan makanan dan sedang dirawat di rumah sakit!]