Bab 5
Apa?
Hanya satu kalimat singkat, tapi membuatku lama tak bereaksi.
Aku menatap Sigit dengan kaget dan bingung.
Bukankah dia bilang sudah mengirim Sandi ke rumah ibunya?
Ibunya seharusnya tahu kondisi kesehatan Sandi ...
Seharusnya tidak mungkin dia memberi Sandi makanan yang aneh-aneh.
Lalu kenapa Sandi sampai harus dirawat di rumah sakit?
Dan lagi ...
Bagaimana Jenny bisa tahu kondisi kesehatan Sandi?
"Di rumah sakit mana?" tanya Sigit sambil terburu-buru memungut pakaian yang jatuh ke lantai dan mengenakannya dengan panik.
Jenny menyebutkan nama rumah sakit sambil menangis di telepon.
Aku begitu khawatir pada anakku, jadi mau tak mau mengikuti di belakang Sigit.
Barulah saat itu Sigit menyadari keberadaanku.
Aku tahu wajahku saat ini pasti tampak sangat buruk seperti berada di ambang ledakan emosi, tapi pada akhirnya aku masih bisa menahannya.
Dia membuka pintu mobil dan langsung masuk ke dalam.
Aku pun ikut duduk di kursi penumpang depan.
Sepanjang perjalanan, kami tidak mengatakan sepatah kata pun.
Pikiran di kepalaku yang dipenuhi dengan informasi kacau, perlahan mulai tersusun rapi dalam waktu perjalanan sekitar dua puluh menit itu.
Dengan kata lain ...
Sigit yang mengatakan bahwa dia akan membawa anak kami bersamanya dan memutuskan hubungan dengan Jenny ...
Ternyata diam-diam mengirim anak itu ke tempat Jenny.
Agar aku tidak menyadari kejanggalan ini.
Dia bahkan rela mengorbankan dirinya sendiri, menggunakan alasan ingin punya anak kedua denganku hanya untuk mengalihkan perhatianku.
Aku menoleh, memandang keluar jendela.
Ternyata, dari semua orang di rumah ini, hanya aku yang benar-benar ingin memperbaiki hidup kami dan kembali seperti dulu.
Sedangkan hati mereka sudah sejak lama condong ke arah Jenny.
...
Setibanya di rumah sakit, aku langsung menuju ke ruang infus.
Di ruang yang luas itu, hanya ada Sandi yang sendirian.
Dia memiringkan kepala, bersandar di dinding, jelas sudah tertidur.
Aku melangkah cepat mendekatinya, melihat wajahnya yang tertidur dengan tenang. Hatiku terasa campur aduk antara kasihan dan marah.
Kasihan karena dia masih kecil, belum tahu apa yang baik dan buruk.
Namun para orang dewasa yang seharusnya mengerti, justru dengan sengaja membiarkannya begitu, padahal tahu betul perut dan pencernaannya lemah, hingga membuatnya sering harus dirawat di rumah sakit.
Yang membuatku marah adalah ...
Pelaku utama yang menyebabkan dia masuk rumah sakit, malah tidak tinggal di sini menemaninya, melainkan membiarkannya sendiri di sini.
Dia juga tak peduli apakah Sandi akan merasa takut.
Aku menarik napas dalam-dalam, memaksa diri untuk tetap tenang.
Kemudian, aku duduk di samping Sandi. Karena takut mengganggunya, aku dengan hati-hati menopang kepalanya agar bisa bersandar di pelukanku.
"Annika! Putraku menyayangimu, membiarkanmu jadi ibu rumah tangga penuh waktu supaya bisa merawat anak dengan baik, tapi apa hasilnya?"
Suara teguran tajam terdengar dari arah pintu.
Aku menoleh.
Yang datang adalah ibu Sigit, Cintami Arum.
Dia baru saja tiba, tapi dia malah lebih dulu menyerang demi menutupi kelalaiannya sendiri. "Dalam pengasuhan 'penuh perhatian' versimu itu, perut Sandi malah bermasalah tiap beberapa hari sekali ... "
Jadi dia mau melempar tanggung jawab padaku?
Setiap kali berselisih dengan orang tua dari pihak Sigit, aku selalu memilih menahan diri, takut membuat Sigit berada di posisi sulit.
Tapi Sandi adalah batas kesabaranku.
Untuk urusan yang menyangkut Sandi, aku tidak akan pernah mundur!
Aku takut membangunkan Sandi yang sedang tidur, jadi kupelankan suaraku semampuku, tapi tetap tak bisa menyembunyikan amarahku. "Bu, soal siapa yang merusak kondisi pencernaan anak ini, Ibu lebih tahu dariku."
"Tentu saja aku tahu!" Cintami tertawa dingin. "Annika, Sandi paling banyak menghabiskan waktu bersamamu. Kalau kamu mau benar-benar merawatnya dengan baik, sistem pencernaannya nggak akan sampai selemah itu. Makan sedikit saja langsung masuk rumah sakit!"
Aku mendongak dan menatap langsung ke arahnya.
Semua kekesalan yang kupendam seharian akhirnya meledak saat itu juga. Aku menggeram pelan, nyaris menggertakkan gigi. "Tapi selama aku yang merawat Sandi, dia nggak pernah sekalipun masuk rumah sakit karena masalah pencernaan."
Cintami tercekat, tak bisa membalas. "Kamu ... "
Tapi aku tak berniat berhenti. "Justru sejak Ibu bilang kangen sama Sandi, lalu minta Sigit diantar ke rumah kalian sepulang kerja ... "
"Sejak saat itu, masalah pencernaannya mulai sering kambuh."
"Padahal aku sudah mengingatkan kalian, jangan sembarangan memberi dia makan."
"Lalu apa yang kalian lakukan?"
Sebenarnya aku menyimpan cukup banyak kekesalan terhadap keluarga suamiku.
Selama ini, aku selalu berusaha memaklumi. Kupikir, masalahnya tidak terlalu besar, dan mereka juga menyayangi anak.
Selama diingatkan dengan baik, pasti mereka akan lebih berhati-hati dan tidak mengulanginya lagi.
Namun kenyataannya, aku terlalu memercayai mereka. "Kalian bukan hanya mengabaikan ucapanku, tapi kalian bahkan sampai mengirim anakku ke rumah Jenny!"
"Kalian malah membiarkan anakku menjalin hubungan dengan dia, perempuan yang mencoba menghancurkan pernikahanku!"
"Bahkan hari ini pun kalian tetap begitu!"
"Sigit bilang padaku bahwa Sandi dibawa ke rumah neneknya."
"Baru beberapa jam berlalu, tahu-tahu dia sudah ada di rumah Jenny, makan sembarangan sampai muntah-muntah dan diare, lalu harus dilarikan ke rumah sakit!"
"Lalu apa?"
Aku teringat pemandangan yang kulihat saat pertama tiba di rumah sakit, dan hatiku masih terasa sesak.
"Perempuan itu pergi begitu saja, meninggalkan Sandi, seorang anak kecil, sendirian di sini."
Cintami membuka mulut, ingin membantah, tapi tidak tahu harus berkata apa.
"Bu." Aku membuka suara dengan susah payah, "Aku tahu sejak dulu Ibu memang nggak menyukaiku."
"Aku juga tahu, satu-satunya menantu yang benar-benar Ibu akui, hanyalah Jenny ... "
"Tapi kalau Ibu nggak suka padaku, ingin menyusahkanku, silakan tujukan semuanya padaku!"
"Bagaimanapun juga, Sandi itu cucu Ibu, dan usianya masih kecil ... "
"Dia nggak kuat diperlakukan seperti ini!"
Cintami tak menyangka, menantu yang selama ini penurut dan lembut, kini berani membalas ucapannya. Saat dia sadar, dia langsung bersiap untuk membalas dengan kemarahan.
Dia berencana memarahi "anak yang tak tahu diuntung" ini dengan sungguh-sungguh.
Namun, sebelum sempat melontarkan sepatah kata pun, Cintami sudah dihentikan oleh Sigit yang berlari kecil mendekat. "Bu, sudahlah, bisa nggak Ibu berhenti bicara sebentar?"
Setiap kali aku bersitegang dengan keluarga suamiku.
Sigit selalu berdiri di pihakku tanpa ragu.
Itulah salah satu alasan kenapa aku begitu mencintainya tanpa syarat.
Cintami semakin marah setelah dihentikan oleh putranya. "Kamu ini nggak punya hati! Kamu nggak dengar bagaimana istrimu membentakku tadi!"
Sigit berdiri di sampingku, wajahnya dingin. "Memangnya ada yang salah dengan apa yang dia katakan?"
Ucapan itu langsung membuat Cintami terdiam.
Sigit melanjutkan dengan tegas, "Aku sudah jelas mengatakan pada Ibu, aku nggak akan berhubungan lagi dengan Jenny. Tapi Ibu malah diam-diam mengirim Sandi ke tempatnya."
"Masalah ini sudah memengaruhi hubungan kami sebagai suami istri."
Mendengar itu, aku menoleh ke arah Sigit dengan tatapan terkejut.
Jadi, ternyata dia juga tidak tahu soal ini?
Cintami tampaknya masih ingin mengatakan banyak hal, namun pada akhirnya dia menahan diri. Dia hanya melotot padaku dengan pandangan penuh kebencian.
Perhatianku sepenuhnya tertuju pada Sandi, sampai-sampai aku benar-benar tak punya waktu maupun tenaga untuk mengurus hal lain, apalagi meladeni dia.
Setelah kupikir-pikir, aku tetap memutuskan untuk memberi kejelasan. "Bu, mulai sekarang aku nggak akan menitipkan anakku di tempatmu lagi."
Aku tidak tahu pasti sejak kapan Jenny mulai mendekati putraku.
Tapi aku sungguh berharap ...
Mulai hari ini, aku tidak ingin ada lagi hubungan apa pun antara mereka berdua.
Di saat yang sama, aku akan lebih banyak meluangkan waktu untuk menemani dan membimbing Sandi ...
Selama aku cukup sabar, aku yakin dia pasti bisa kembali menjadi anak yang sehat dan penurut seperti dulu.
Tanpa berpikir panjang, Cintami langsung menolak. "Nggak bisa!"
Aku hanya memberitahunya, bukan meminta persetujuannya. Entah dia setuju atau tidak, itu tidak akan mengubah keputusanku.
Cintami yang tak mendapat tanggapan dariku, langsung menoleh ke Sigit.
Sigit hanya berkata pelan, "Aku mendukung Annika."
"Kalian ini!" Cintami marah bukan main, namun tetap tak bisa mengubah apa pun. Setelah bersikeras dan melihat kami tak berniat mengalah, akhirnya dia pun pergi.
Di ruang infus yang luas itu kini hanya tersisa kami bertiga.
Aku memeluk Sandi erat di dalam pelukanku.
Sigit duduk di sampingku.
Sandi tidur dengan nyenyak. Dia baru terbangun ketika jarumnya dicabut karena terkejut. Dia membuka mata yang masih dipenuhi kebingungan dan menatapku.
Aku menepuk-nepuk punggungnya pelan sambil berbisik lembut, "Sayangku, jangan takut, Mama ada di sini."
Dengan wajah cemberut, Sandi berkata dengan kesal, "Ini semua salah Mama, kenapa harus ke rumah sakit segala?"
Mungkin karena naluri sebagai seorang ibu, meskipun dia sedang marah padaku dengan wajah cemberut begitu, aku tetap merasa dia sangat menggemaskan.
"Kamu nggak mau Mama datang?"
"Ya," jawab Sandi tanpa ragu, "Kalau Mama nggak datang, Tante Jenny pasti akan tinggal di sini nemenin aku."