Bab 6
Perkataan polos namun lugas itu terasa seperti sebuah jarum yang menusuk langsung ke dalam hatiku.
Di saat dia sedang sakit dan berada dalam kondisi paling rapuh, yang ada di pikirannya justru wanita yang menjadi penyebab sakitnya.
Aku menunduk, menatapnya.
Sakit yang dideritanya jelas menguras banyak tenaganya. Baru sempat mengucapkan dua kalimat, dia sudah tertidur lagi.
Sigit jelas mendengar apa yang dikatakan oleh Sandi tadi. Dia menggenggam tanganku dan memanggil, "Sayang."
Merasa tidak ada lagi yang perlu dikatakan padanya, aku pun langsung menarik tanganku untuk melepaskan diri.
Namun Sigit justru menggenggam tanganku lebih erat, tidak membiarkanku menariknya kembali. "Apa yang terjadi hari ini hanyalah kecelakaan, itu keputusan sepihak dari Ibu. Anak kita juga sedang sakit, dia nggak bermaksud mengatakan itu dengan sengaja ... "
"Aku bukannya nggak bisa memahami anak kecil." Aku menggendong Sandi dan berjalan keluar dari rumah sakit. "Sekarang ini dia sedang berada di masa-masa menyukai Jenny, jadi tentu saja dia akan merasa bahwa semuanya tentang Jenny itu menyenangkan."
Aku terdiam sejenak, lalu menambahkan, "Sedangkan aku melarang keras dia untuk berhubungan dengan Jenny."
"Awalnya, dia pasti akan sangat memberontak."
"Sandi sebenarnya nggak memiliki sifat buruk. Aku akan membimbingnya dengan baik, sampai dia tahu siapa yang benar-benar peduli padanya."
"Tapi, aku berharap kamu bisa menepati ucapanmu. Aku bisa menganggap kejadian hari ini sebagai kecelakaan, tapi aku nggak ingin ada yang seperti ini lagi."
Saat berbicara, aku perlahan berhenti melangkah.
Khawatir aku kelelahan, Sigit langsung mengambil alih anak dari pelukanku.
"Aku akan menepatinya, aku janji padamu, Sayang!"
Aku menatap Sandi yang tertidur pulas dalam pelukan Sigit, dan tak berkata apa-apa lagi.
...
Sesampainya di rumah.
Sigit memarkirkan mobil.
Melihat anakku tidur lelap, aku pun tak berniat membangunkannya dan bersiap menggendongnya turun.
Namun, Sigit sudah berdiri di depan pintu penumpang. Suaranya pelan. "Biar aku saja."
Lalu, dengan mudah dia mengangkat Sandi dengan satu tangan, sementara tangan satunya terulur ke arahku.
Aku agak terkejut dan mendongak menatapnya.
Di bawah sorotan lampu jalan, tubuhnya yang tinggi dan gagah serta wajahnya yang tampan tampak begitu memukau, seolah-olah dia adalah sosok dewa yang berdiri di tempat tinggi, tak tersentuh.
Dengan lembut, Sigit berkata, "Istriku, ayo kita pulang."
"Hmm." Aku menghela napas dalam hati, lalu menggenggam tangannya dan turun dari mobil. "Ayo."
Setibanya di rumah, Sigit membaringkan Sandi di ranjang kecilnya.
Aku mengambil semangkuk kecil air hangat dan membawanya ke kamar tidur anak.
Sigit bekerja sama dengan melepas pakaian Sandi, memeras handuk, lalu perlahan menyeka tubuh Sandi.
Sandi tidur dengan nyenyak. Bahkan sampai seluruh tubuhnya dibersihkan dan dipakaikan baju tidur, dia tetap belum terbangun.
Hanya sesekali dia mengerang pelan, menunjukkan sedikit rasa tidak nyaman.
Melihat itu, Sigit hanya tersenyum penuh kasih, lalu melemparkan handuk ke dalam baskom, membawa baskom kecil itu sendiri, dan keluar dari kamar.
Aku hanya duduk di tepi ranjang, menatap Sandi.
Belakangan ini, sikapnya terhadapku semakin buruk.
Setiap kali kami mencoba berbicara, bahkan belum sempat mengobrol beberapa kalimat dengan tenang, dia sudah tak sabar dan membalas dengan kata-kata kasar.
Hanya saat dia tertidur seperti ini, barulah kami bisa benar-benar rukun.
"Sayang."
Sigit memanggilku sambil melangkah mendekat, lalu membungkuk dan mengangkatku dalam pelukannya.
Aku refleks melingkarkan tangan ke lehernya, menatap sisi wajahnya dengan bingung. "Ada apa?"
Dengan sikunya, Sigit mematikan lampu, lalu menutup pintu kamar Sandi.
Dia menatapku, nada suaranya penuh makna. "Sebelum kita ke rumah sakit tadi, apa yang sudah kita sepakati?"
Aku justru sudah lupa apa yang terjadi sebelum pergi ke rumah sakit.
Tapi yang terjadi setelahnya, masih sangat jelas di ingatanku.
Saat menggendong anak itu, aku sempat benar-benar mempertimbangkan, apakah aku harus bercerai dengan Sigit.
Tapi kemudian aku teringat. Bahkan saat aku belum bercerai dengannya, Jenny sudah berani membuat hidup anakku sengsara seperti ini.
Lalu kalau bercerai, bagaimana nanti nasib Sandi?
Apakah dia masih bisa hidup dengan tenang?
Demi anak ini, rumah tangga ini tidak boleh hancur.
Semalaman, kepalaku dipenuhi oleh semua hal itu, dan aku benar-benar tidak bisa mengingat apa yang terjadi sebelum pergi ke rumah sakit.
"Bisa kasih petunjuk sedikit?"
"Kamu ini memang pelupa, ya." Sigit menutup pintu kamar dengan santai, lalu mengangkat wajahku dengan telapak tangannya yang besar, mencium lembut bibirku dan berkata, "Sayang ... "
Suara yang ditekan rendah di tengah malam yang sunyi seperti ini, membawa nuansa yang sulit dijelaskan.
Sigit tertawa pelan, lalu dengan nada usil berkata, "Sudah ingat belum?"
Dia sengaja ingin menggodaku.
Aku justru tidak ingin membiarkannya menang. "Bagaimana, ya? Sepertinya aku masih belum ingat juga."
Bayanganku terpantul di dalam mata Sigit.
Rambut panjang yang terurai, seperti air terjun, terhampar di atas selimut putih bersih.
Wajahku yang memerah karena ciumannya tampak begitu memikat dan memesona.
Tenggorokannya bergerak naik turun, dan dia berkata dengan suara rendah, "Kalau begitu, biar aku bantu kamu mengingatnya ... "
...
Pukulan mental dan tubuh yang lelah setelah semalaman benar-benar membuatku kelelahan.
Namun, Sandi baru saja dirawat di rumah sakit karena masalah pencernaan, jelas dia butuh perhatian ekstra.
Aku tak punya pilihan selain memaksa diri bangun pagi-pagi untuk menyiapkan sarapan bagi mereka.
Saat ini, Sandi hanya bisa mengonsumsi bubur nasi putih demi memulihkan tubuhnya. Agar buburnya lebih lembut dan mudah dicerna, aku sengaja menggunakan panci tanah liat.
Pertama-tama, aku didihkan air dengan api besar, lalu kuubah ke api kecil agar bisa dimasak perlahan.
Aku melirik jam.
Hari masih pagi, dan baru lewat jam lima.
Jadi aku memutuskan pergi ke pasar sayur terdekat, membeli beberapa sayuran hijau dan daging. Setelah kembali ke rumah, aku langsung merapikan sayuran dengan cekatan dan mencucinya hingga bersih. Sampai waktunya Sandi bangun, barulah aku mulai memasak.
Ada dua hidangan. Satu tumis sayur hijau sederhana, dan satu lagi sup daging.
Setelah keduanya matang, aku memanggil mereka untuk sarapan. Namun tiba-tiba terdengar suara langkah kaki cepat. "Tak tak tak".
Tak lama kemudian, Sandi berlari kecil menghampiriku.
Dia cemberut, pipinya menggembung kesal. "Aku kan sudah bilang, beberapa hari ini aku nggak mau pulang ke rumah. Aku cuma mau tinggal di rumah Nenek ... "
Dia menatapku dengan mata tajam. "Meski aku sakit dan harus infus di rumah sakit, begitu keluar dari sana, seharusnya Ibu tetap mengantarku ke rumah Nenek!"
Sandi masih mengira aku tidak tahu apa-apa.
Makanya, dia merasa wajar menjadikan neneknya sebagai tameng, supaya bisa terus pergi menemui Jenny sesuai keinginannya.
Tapi aku memilih untuk langsung membongkarnya. "Antar ke rumah Nenek, biar nenekmu yang mengantarkanmu ke rumah Jenny, begitu maksudmu?"
Sandi tertegun.
Dia masih seorang anak kecil, belum pernah mengalami hal seperti ini, jadi dia belum tahu harus bagaimana menanganinya.
"Mulai hari ini, Mama nggak akan mengantarmu ke rumah nenekmu lagi."
Sandi secara refleks membantah, "Kenapa nggak boleh?"
Aku jarang bersikap tegas. "Karena aku adalah mamamu!"
"Aku nggak mau kamu jadi mamaku lagi!" Sandi menangis keras dengan putus asa. "Aku mau ke rumah Tante Jenny! Aku mau Tante Jenny jadi mamaku!"
Dia adalah anak yang kulahirkan setelah mengandung sembilan bulan.
Juga anak yang telah kubesarkan dengan susah payah.
Tapi sekarang, demi seorang wanita yang membiarkannya makan sembarangan hingga merusak kesehatannya, dia tidak ingin aku jadi ibunya lagi.
Hati ini terasa seperti ditusuk berkali-kali.
Mata Sandi yang bening seperti batu permata hitam penuh dengan air mata. Menangis dan berteriak sudah tak cukup lagi untuk meluapkan rasa tak puas di hatinya. Dia menoleh ke kiri dan kanan, lalu dengan kedua tangan gempalnya, dia mengangkat gelas air dingin di atas meja dan menghantamkannya ke lantai dengan keras.
"Prang!"
Pecahan kaca berserakan ke mana-mana.
Begitu juga airnya.
Tanganku dingin membeku. Yang dia pecahkan bukan sekadar gelas air dingin, melainkan hatiku sendiri. Aku benar-benar tak mengerti.
Bagaimana dia tega menyakiti ibunya sendiri, hanya demi seorang wanita yang bahkan belum lama dia kenal?
Tapi Sandi seolah belum puas. Dia mulai meraih benda-benda lain di rumah yang bisa dihancurkan dan melempar semuanya ke lantai satu per satu.
Sigit keluar, dan saat melihat ruang tamu yang sudah berantakan serta Sandi yang masih merusak barang-barang, alisnya pun berkerut tanpa sadar. "Sandi, apa yang kamu lakukan?"
Begitu mendengar suara ayahnya, Sandi akhirnya menghentikan tangisnya. Dia berlari kecil ke arah Sigit, langsung berdiri di hadapannya dan berkata dengan suara yang tersengal karena tangis. "Papa, bukankah Papa paling suka Tante Jenny?"
"Aku mohon ... cerai saja sama Mama, dan nikahlah dengan Tante Jenny."
"Aku ingin Tante Jenny jadi mamaku. Aku ingin kita jadi satu keluarga dengan Tante Jenny. Aku ingin tinggal dan hidup bersama Tante Jenny!"