Bab 7
Dia mendongakkan kepala kecilnya, menatap Sigit.
Matanya yang dipenuhi kilau air mata memancarkan kepolosan dan ketidaktahuan khas seorang anak kecil.
Wajahnya tampak menyedihkan, membuat siapa pun yang melihatnya merasa iba.
Sigit berjongkok.
Kini Sandi tak perlu lagi menengadah, dan bisa menatap ayahnya langsung. Tubuhnya masih tersengal karena tangis, suara kecilnya terputus-putus. "Papa, tolong kabulkan permintaanku, ya?"
"Kamu masih kecil," ujar Sigit lembut. Dia jelas menyayangi anaknya ini. Dia mengusap rambut Sandi dengan penuh kasih. "Sandi, kalau kamu terus marah-marah seperti ini ke Mama, suatu hari nanti kamu akan menyesal."
Sandi menggeleng kuat-kuat. "Nggak akan!"
Seolah khawatir Sigit tidak mempercayainya, dia buru-buru mengusap air matanya dengan tangan mungilnya. Sambil terus mengusap, dia berkata sungguh-sungguh, "Papa, pisahlah dari Mama, dan tinggal bersama Tante Jenny. Bahkan dalam mimpiku pun, aku ingin Tante Jenny jadi mamaku!"
Setiap kata yang keluar dari mulutnya diucapkan dengan keyakinan penuh, tanpa sedikit pun keraguan.
Sigit tidak menjawab. Dia hanya menepuk bahu Sandi, lalu berdiri.
Dengan susah payah, aku menoleh dan memandang Sandi.
Selama ini, aku selalu mengira ucapannya tentang ingin menjadi satu keluarga dengan Jenny hanyalah omongan anak-anak dan keinginan sesaat yang akan segera hilang.
Tapi ...
Kemarahan yang meledak berulang kali dan sikapnya yang semakin keras, semuanya menunjukkan bahwa dia tidak sedang bercanda.
Dia benar-benar sangat menginginkan Jenny menjadi ibunya.
Lalu aku?
Apa aku ini ... tidak berarti apa-apa lagi baginya?
Dan pantas dibuang begitu saja olehnya?
Rasa sakit menyebar di dalam dada.
Seolah ada ribuan semut menggigit jantungku yang dipenuhi oleh luka dan darah.
"Sayang ... " Sigit mendekat dan memelukku. Tangan besarnya menepuk-nepuk pelan punggungku, mencoba menenangkanku dengan suara lembut, "Jangan sedih, Sandi masih kecil ... Dia belum benar-benar mengerti arti dari kata-katanya."
Aku sudah berkali-kali mengingatkan diriku sendiri. Apa pun yang dikatakan Sandi, jangan dimasukkan ke dalam hati.
Dia masih kecil, dan aku seharusnya bisa lebih memakluminya.
Namun, kata-kata polos dan lugunya selalu saja dengan mudah menusuk hatiku tanpa ampun.
Dengan susah payah, aku menggumam pelan dalam pelukannya. Baru setelah emosiku sedikit tenang, aku perlahan melepaskan diri dari pelukannya dan berkata, "Ayo makan."
Sigit melepaskanku.
Aku berbalik menuju dapur, mengangkat hidangan yang sudah selesai dimasak, lalu meletakkannya di atas meja.
Karena khawatir aku akan kepanasan, Sigit segera mengambil inisiatif untuk membawakan panci tanah liat itu sendiri.
Sementara itu, Sandi yang gagal mencapai keinginannya tampak sangat kecewa. "Papa!"
"Makan!" Suara Sigit terdengar tegas, tak memberi ruang untuk penolakan. "Jangan buat Papa harus bilang dua kali."
Barulah Sandi duduk dengan patuh, memeluk mangkuk kecilnya, dan memakan buburnya perlahan sedikit demi sedikit.
Karena pecahan kaca di rumah begitu banyak, aku khawatir mereka akan terinjak. Jadi saat mereka mulai makan, aku pun memilih untuk membersihkannya sendiri.
Sementara makan, Sandi mengayun-ayunkan kedua kakinya yang gemuk seperti batang teratai, sambil bergumam pelan, "Aku benci Mama, aku nggak suka Mama!"
Tanganku yang sedang menyapu lantai langsung terhenti.
Sebelum rasa sakit itu sempat benar-benar menyergap, aku buru-buru menenangkan diri ...
Bukankah aku sudah memprediksi semuanya sejak awal?
Sejak memutuskan untuk melarang Sandi berhubungan lagi dengan Jenny, aku tahu pasti dia akan memberontak dengan keras.
Dan kata-katanya ... pasti juga akan semakin menyakitkan.
Tapi, asal aku bisa bertahan melewatinya, semuanya akan berlalu.
Saat aku selesai menyapu semua pecahan kaca di lantai, mereka berdua pun telah menyantap sarapan mereka hingga habis.
Sigit menggandeng tangan Sandi hingga ke pintu, dan masih sempat mengingatkannya, "Pamitan dulu sama Mama."
"Aku nggak mau!" Sandi mendengus keras, memalingkan wajahnya, tak sudi menatapku lagi.
Aku berdiri di dalam rumah, menatap mereka berdua dari kejauhan.
Hati yang tadinya terasa perih tak tertahankan, akhirnya terasa tenang.
"Sayang ... " Sigit menggenggam tanganku, mendekat pelan, lalu diam-diam mengecup bibirku. "Jangan terlalu dipikirkan, ya. Setelah masa ini lewat, semuanya akan membaik."
"Mm."
...
Taman kanak-kanak tempat Sandi bersekolah memiliki sistem penitipan harian.
Setiap pagi, anak harus diantar sebelum jam delapan, dan dijemput pukul enam sore.
Biasanya, Sigit selalu bilang takut merepotkanku, jadi dia yang menjemput Sandi sepulang kerja, sekalian lewat.
Tapi mulai hari ini, aku memutuskan untuk mengambil kembali tugas menjemput anakku itu.
Aku hanya berharap bisa lebih banyak menghabiskan waktu bersama Sandi, dan perlahan mempererat kembali ikatan antara kami lewat cara ini.
Namun hari ini, aku tidak memberi tahu Sigit terlebih dahulu. Aku hanya berpikir, mungkin kami bertiga bisa pulang bersama sebagai satu keluarga.
Demi menyisihkan waktu untuk menjemput Sandi, aku sengaja menyelesaikan semua pekerjaan rumah dengan cepat. Bahkan, aku berangkat satu jam lebih awal dan tiba di gerbang TK jauh sebelum waktunya.
Setelah menunggu selama puluhan menit, akhirnya waktu pulang sekolah pun tiba.
Pintu gerbang otomatis terbuka perlahan, guru-guru berdiri berjaga, menahan anak-anak di dalam, dan hanya mengizinkan mereka keluar satu per satu setelah memastikan identitas orang tua yang menjemput.
"Sandi!" seru sang guru dengan suara lantang. "Orang tua Sandi, apakah sudah datang?"
"Ada!"
Aku segera mengangkat tangan dan melangkah cepat ke depan.
Namun, di saat yang bersamaan, seorang lainnya juga bergegas datang dan tiba tepat di sampingku.
Aku secara refleks menoleh ke arahnya.
Yang kulihat justru Jenny, yang mengenakan gaun panjang merah mencolok, dengan rambut panjang bergelombang terurai di bahunya.
Riasannya tampak sangat rapi dan menawan, senyumnya hangat dan percaya diri. "Selamat sore, Bu Guru. Aku orang tua Sandi."
Aku nyaris terpaku di tempat.
Kenapa Jenny bisa muncul di gerbang TK, dan bahkan mengaku sebagai orang tua dari Sandi?
Jangan-jangan ...
Sigit telah membohongiku?
Selama ini dia bilang menjemput Sandi sepulang kerja karena sekalian lewat, tapi kenyataannya ...
Dialah yang menyuruh Jenny datang menjemput?
Apakah semua ini memang sengaja dirancang, agar Jenny punya cukup banyak waktu untuk membangun hubungan dengan anakku?
Dugaan seperti itu membuatku terpaku di tempat, hatiku seolah diremas keras.
"Ibunya Sandi," kata sang guru sambil berbicara pada Jenny, namun matanya tetap menatapku dengan waspada. "Tadi saat aku memanggil orang tua Sandi, dia juga menjawab. Apakah Ibu mengenalnya?"
Apa?
Guru itu benar-benar memanggil Jenny sebagai ibunya Sandi?
Kepalaku terasa kacau, pikiranku berantakan.
Perlahan, aku mulai menyadari sesuatu.
Di taman kanak-kanak ini, tidak ada satu pun orang yang tahu bahwa akulah ibu kandung Sandi.
Sebaliknya, semua orang justru mengira bahwa Jenny adalah ibunya.
Dengan kata lain ...
Saat aku tidak tahu apa-apa, Jenny sebenarnya sudah sering datang ke sini, menjemput Sandi berkali-kali?
Kalau begitu ...
Siapa yang membawanya ke sini untuk menjemput anakku?
Sampai-sampai para guru bisa menganggapnya sebagai ibu dari anakku?
Kebenaran yang nyaris tak bisa dibantah itu bagaikan pisau tajam, perlahan-lahan menyayat dan menyiksa jantungku.
Apakah Sigit?
Jenny belum pernah melihatku sebelumnya, maka saat pandangannya jatuh padaku, dia pun tampak sedikit terkejut.
Dia lalu mengulurkan tangan ke arah Sandi dan berkata dengan lembut, "Sayang, coba ke sini. Lihat, apa kamu mengenal Tante ini?"
Aku?
Tante?
Sungguh lucu. Sandi adalah anak yang aku kandung selama sembilan bulan dan kulahirkan dengan mempertaruhkan nyawaku. Dan sekarang, mereka menyebutku ... tantenya?
Jangan konyol.
Aku baru saja hendak membantah, namun saat itu juga kulihat Sandi melangkah dengan patuh ke sisi Jenny, menggenggam erat tangannya, lalu menatapku.
Butuh waktu beberapa detik sebelum dia menggeleng pelan dan berkata, "Mama, aku nggak kenal Tante itu."
Seketika, ada sesuatu yang seolah meledak di dalam diriku.
Senyum di wajahku lenyap seketika, dan telingaku berdengung keras hingga membuatku nyaris tak bisa mendengar apa pun lagi.
Sandi ...
Anak kandungku sendiri, berdiri tepat di depan mataku, dan memanggil Jenny sebagai "Mama" ...
Dan mengatakan tak mengenalku?
Pilihan kejamnya itu, tanpa ragu merobek-robek hatiku hingga hancur berkeping-keping.
Air mataku mengalir deras, tak bisa kucegah sama sekali.
Jenny masih mempertahankan senyum sopannya. "Mungkin ... wanita ini salah orang."
"Aku nggak salah orang." Aku buru-buru menyeka air mataku, panik dan gemetar. "Sandi, ke sini!"
"Nggak mau!" Sandi bersembunyi di belakang tubuh Jenny, hanya matanya yang mengintip keluar, menatapku penuh ketegasan. "Kamu kira, cuma karena kamu tahu namaku, aku akan ikut denganmu?"
Jenny bertukar pandang dengan sang guru.
Guru itu lalu bertanya dengan hati-hati, "Jangan-jangan ... dia penculik anak?"
Jenny menggeleng pelan. "Aku juga kurang tahu pasti."
Demi menjaga keselamatan anak, guru itu pun segera menghubungi polisi untuk melaporkan kejadian tersebut.
Tapi aku sudah tak peduli lagi dengan semua itu. Aku melangkah cepat mendekati Sandi, berdiri tepat di hadapannya. "Sandi, akulah mamamu yang sebenarnya!"
"Bukan!" Sandi berteriak sambil mati-matian bersembunyi di belakang Jenny. "Mamaku adalah dia!" tunjuknya pada wanita itu, tanpa ragu sedikit pun.