Bab 6
Begitu rombongan tiba di rumah sakit, mereka langsung melihat Samuel yang menunggu di luar ruang operasi.
Tubuhnya basah kuyup oleh darah, keringat dingin mengucur di dahinya, dan matanya dipenuhi kepanikan serta kebingungan.
Ini pertama kalinya Cindy melihatnya dalam keadaan sebegitu kacau.
Beberapa teman segera mengerumuninya, menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Dia mencengkeram rambutnya dengan penuh penyesalan, suaranya parau dibalut kesakitan yang tidak terucapkan.
"Ini salahku, aku nggak seharusnya mengatakan hal-hal yang bikin dia marah. Aku juga nggak seharusnya membiarkan dia pergi sendirian. Dia sengaja menyetir sekencang itu karena marah sama aku, jadi kecelakaan pun terjadi ... "
Mendengar dia memikul semua kesalahan sendiri, bulu mata Cindy bergetar halus.
Kalau semua itu cuma kata-kata karena emosi, lalu mana yang sebenarnya sungguh dari hati?
Selama ini Samuel menunggunya kembali, berharap bisa rujuk dengan Cynthia?
Mungkin saja.
Cindy tidak ingin berpikir lebih jauh.
Tepat saat itu, seorang perawat keluar dengan wajah amat serius.
"Pasien mengalami pendarahan hebat, tapi stok darah sedang kritis. Siapa di antara kalian yang bergolongan darah O, tolong bantu segera."
Semua saling pandang, tetapi tidak ada yang maju karena mereka semua bergolongan darah AB.
Hanya Samuel yang bergolongan darah O.
Dia langsung melepas jaket, mengenakan pakaian operasi steril dan masuk ke ruang bedah.
Waktu terus berjalan. Setengah jam kemudian perawat keluar sambil menopang Samuel yang tampak pucat pasi.
Entah sudah berapa banyak darah yang dia sumbangkan, tubuhnya benar-benar kehilangan tenaga, hingga limbung dan jatuh ke pelukan Cindy.
Namun, perawat belum pergi. Dia kembali bertanya.
"Kondisi pasien perlahan membaik, tapi masih butuh tambahan 400cc darah. Apa kalian bisa menghubungi teman lain yang bergolongan darah O?"
Selama menunggu, semua orang sudah mencoba menghubungi kenalan masing-masing, tetapi tetap tidak menemukan orang yang cocok.
Melihat suasana yang makin sunyi, Samuel dengan cemas memaksa diri bangkit berdiri.
"Hanya 400cc? Aku sumbang lagi."
Perawat memandangnya dengan wajah tercengang, tidak percaya dengan tekadnya yang nekat.
"Kamu sudah menyumbang 600cc, masih mau lanjut?"
Wajah teman-temannya langsung berubah. Mereka buru-buru maju membujuk.
"Kak Samuel, cukup! Aku akan suruh sekretarisku tanya ke kantor, cari siapa tahu ada yang golongan darahnya sama dan mau bantu."
Namun, Samuel menggeleng, suaranya penuh dengan tekad yang keras kepala.
"Cynthia nggak bisa tunggu selama itu."
Sambil berkata begitu, dia menggulung lengan bajunya, memperlihatkan bekas suntikan yang membiru.
Melihat sikapnya yang begitu memaksa, akhirnya Cindy tidak tahan untuk bicara.
"Dokter sedang berusaha sekuat tenaga. Kita bisa koordinasi dengan rumah sakit lain untuk kirimkan darah. Kamu nggak perlu sampai begini."
Samuel terdiam sejenak, tetapi tetap tidak menggubris. Dia berbalik dan masuk lagi ke ruang operasi.
Melihat punggungnya yang penuh tekad memasuki ruang bedah, semua orang diam.
Beberapa teman menghela napas panjang, nada bicara penuh kekecewaan.
"Asal urusannya nyangkut Cynthia, Kak Samuel langsung gila! Dulu demi dia, sampai berkelahi dan cedera kaki, dirawat di rumah sakit tiga bulan, keluar pun masih cari orang itu buat dihajar!"
"Betul banget. Waktu SMA, dia bahkan taruhan untuk dapatkan kalung kesukaan Cynthia, sampai nekat lompat parasut dari ketinggian 5.000 meter. Peralatannya sempat rusak dan dia nyaris tewas. Sekarang malah rela korbankan nyawanya demi Cynthia. Aku sempat pikir dia masih ada perasaan ke Cynthia, makanya aku bantuin mereka balikan. Tapi ... ya ampun, dia malah menyiksa diri sendiri!"
Mereka asyik mengobrol tanpa menyadari Cindy masih ada di sana.
Mendengar semua kisah masa lalu itu, Cindy seperti disadarkan dari mimpi.
Baru saat ini dia benar-benar mengerti betapa konyolnya pemikirannya saat berdiri di pelaminan hari itu.
Tidak ada istilah "datang belakangan bisa menggantikan yang lama", atau "menghangatkan hati yang dingin".
Cinta adalah cinta. Kalau tidak cinta, tetap saja tidak cinta.
Sejak awal, dia sudah salah bertaruh.
Maka kini, di hadapan situasi yang kalah total, dia pun menerimanya.
Entah sudah berapa lama waktu berlalu. Lampu merah di ruang bedah pun perlahan padam.
Dokter mendorong dua orang keluar. Semua orang langsung tegang dan mendekat.
Dokter mengusap keringat, menatap Samuel yang pingsan dan bergumam lirih penuh rasa iba.
"Mereka ini pasti pasangan kekasih, ya? Jarang sekali ada pria setulus itu."
Cindy tertinggal di belakang, menatap lampu yang menyilaukan di atas, lalu tersenyum tanpa kata.