Bab 2
Setengah jam kemudian, saat Cindy sudah sampai di rumah, Samuel akhirnya baru membalas satu kalimat.
[Nggak perlu. Kamu yang minta aku tanda tangan, tentu itu bukan sesuatu yang merugikan aku.]
Itu artinya Samuel tidak akan melihatnya.
Tentu saja, sekarang dia sedang terburu-buru menjemput Cynthia yang mabuk. Jadi, mana dia sempat membuka dokumen itu?
Padahal, dokumen itu letaknya hanya sejengkal dari tangannya.
Hujan turun seharian penuh, dan baru berhenti menjelang senja keesokan harinya.
Cindy tetap berada di rumah, diam-diam menghapus semua unggahan tentang kehidupan pernikahannya di berbagai platform.
Setelah selesai membersihkan media sosialnya, dia keluar dari aplikasi dan langsung melihat sembilan foto baru yang diunggah Cynthia.
Foto-foto itu saat bersantai di atas kapal pesiar, tiap sudut diambil dengan sangat apik, memperlihatkan tangan pria yang ramping.
Cindy tahu itu tangan Samuel, dan juga tahu Cynthia sengaja memamerkannya.
Namun sekarang, dia sudah tidak peduli lagi pada hal remeh seperti itu.
Dia mematikan ponsel, lalu bangkit menuju dapur, berniat menyiapkan salad untuk dirinya sendiri.
Baru saja selesai menyiapkan makan malam, Samuel tiba-tiba pulang.
Melihat pria itu membawa kue di tangannya, Cindy sempat tertegun.
"Kamu 'kan nggak suka manis, kok tiba-tiba beli kue?"
Samuel berjalan mendekat. Melihat makan malam Cindy, alisnya agak mengerut.
"Hari ini ulang tahunmu. Apa kamu lupa? Kok makan malamnya sederhana banget?"
Cindy terdiam.
Saat dia berusia empat atau lima tahun, orang tuanya bercerai dan meninggalkannya pada nenek.
Ketika berumur lima belas atau enam belas tahun, neneknya meninggal dunia, Cindy tidak punya siapa pun lagi, dan tidak pernah lagi merayakan ulang tahun.
Namun, selama tiga tahun menikah dengan Samuel, pria itu selalu mengingat hari ulang tahun Cindy. Sesibuk apa pun, Samuel pasti pulang untuk merayakannya bersama.
Saat Cindy pulang dari bepergian, Samuel akan datang menjemput di bandara karena khawatir padanya.
Saat cuaca buruk, dia tahu Cindy takut, jadi dia akan memeluk Cindy dengan lembut ...
Cindy sempat mengira perhatian dan kebaikan tak disengaja itu adalah pertanda cinta.
Sampai ulang tahun pernikahan mereka sebulan lalu, Samuel membatalkan makan malam romantis yang sudah dipesan dengan alasan urusan kantor.
Saat Cindy merasa kecewa, Yana memanggilnya ke bar untuk mengantarkan jaket, dan di sanalah dia melihat Cynthia.
Cynthia dalam keadaan mabuk berat, memeluk Samuel yang seharusnya lembur di kantor, dan tidak mau melepaskannya.
Wajah Samuel tampak muram, lalu dia menarik Cynthia dengan marah.
"Cynthia! Berhenti bertingkah! Lepaskan! Kamu pikir aku ini apa? Mainan yang bisa kamu buang dan ambil sesukamu?"
Cynthia sama sekali tidak mendengarnya, dengan keras kepala memeluk pinggangnya lagi, meskipun sudah ditepis.
Berkali-kali, tanpa jemu.
Akhirnya, Samuel menyerah dan pasrah.
Dia berdiri di sana, menunduk memandang Cynthia dengan penuh kesabaran dan cinta yang tertahan, suaranya terdengar seperti menyerah.
"Cynthia, sebenarnya kamu mau aku harus bagaimana padamu?"
Saat itu, tas di tangan Cindy terjatuh ke lantai.
Banyak kenangan melintas dalam benaknya.
Tangan yang saling menggenggam di tengah kerumunan, payung yang miring di hari hujan, sosok yang mengenakan toga sambil berlutut melamarnya ...
Semua adegan itu adalah bukti cinta Samuel hanya untuk Cynthia.
Cindy menyaksikan semua itu dengan matanya sendiri, jadi tidak bisa menyangkal fakta ini.
Dia sudah menikah selama tiga tahun dan menjadi istri Samuel. Dia pun pernah merasakan sedikit perhatian dari pria itu.
Namun, semua itu tidak bisa mengubah kenyataan ini.
Lebih tepatnya, kebaikan Samuel padanya selama ini hanyalah secuil manis yang direbut Cindy dari ketidakhadiran Cynthia.
Dia menggenggam sedikit kepedulian itu, lalu merasa dirinya telah memiliki segalanya.
Padahal sebenarnya, dia tidak pernah benar-benar memiliki Samuel, bahkan untuk sedetik pun.
Jadi, melihat angka 24 di atas kue ulang tahun itu, hati Cindy sama sekali tidak bergeming.
Dia hanya menunduk sedikit dengan sopan, dan mengucapkan terima kasih.
Samuel menyalakan lilin, tersenyum ringan. "Cindy, kita ini suami istri, jangan bilang terima kasih seperti orang asing begitu. Ayo, buat permohonan."
Cindy mengangguk pelan. Dia baru saja hendak berdiri, ketika ponsel Samuel kembali berdering.
Melihat sorot mata yang agak bergetar itu, Cindy tahu siapa yang menelepon. Dia pun kembali duduk.
Dan benar saja, seperti yang dia duga, satu menit kemudian telepon berakhir, dan Samuel pun pergi.
Mendengar suara mobil yang perlahan menjauh di luar jendela, Cindy tersenyum getir.
Lampu di kamar belum dinyalakan, nyala lilin menari-nari memantulkan bayangan dirinya yang kesepian di dinding.
Dia merapatkan kedua tangannya, lalu mengucapkan permohonan ulang tahun ke-24.
"Di usia yang baru, Cindy nggak akan lagi mencintai Samuel."