Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 3

Tiga hari kemudian, ada reuni angkatan ke-21 Fakultas Ilmu Komputer. Setelah datang, Cindy baru tahu bahwa Samuel juga hadir. Pria itu dikerumuni di tengah keramaian, dan begitu melihat Cindy, langsung berjalan dan duduk di sebelahnya. Melihat mereka duduk berdampingan, suasana di dalam ruang pribadi itu jadi agak canggung. Cindy tahu itu karena dirinya. Bagaimanapun, di mata teman-teman kuliah ini, dia menikahi Samuel hanya demi status, jadi mereka semua meremehkannya. Namun, dia tidak peduli pada prasangka jahat itu. Dia tetap duduk dengan tenang dan tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Ketua angkatan yang datang terlambat membawa sebuah kotak besar, lalu menyapa semua orang. "Hari ini kita berkumpul ini selain buat menjalin silaturahmi, juga karena surat 'untuk diri sendiri lima tahun lalu' akhirnya waktunya dibuka. Yuk, kita baca bareng!" Seketika semua orang berkerumun. Suasana pun menjadi riuh. "Gimana kalau kita bikin lebih seru, acak pilih satu surat dan bacakan?" "Bagus tuh! Biar aku duluan ambil satu!" Salah satu teman pria yang paling aktif di kelas langsung menyelinap ke tengah kerumunan, mengambil satu amplop lebih dulu. Beberapa orang yang belum tahu ikut menyemangati. Dia buru-buru membuka suratnya, berdeham, dan membentangkan kertasnya. "Hai, Cindy lima tahun ke depan, apa kabar? Saat ini aku menulis surat ini di bawah sinar matahari, meski aku nggak tahu situasi dan perasaanmu saat membacanya nanti, aku tetap ingin menyampaikan isi hatiku saat ini padamu." Begitu bagian pertama selesai dibacakan, seluruh ruangan langsung hening, semua mata tertuju pada Cindy. Samuel yang semula asyik bermain ponsel juga mendongak, menatap heran ke arah wanita di sampingnya. Saat mendengar isi surat itu, Cindy yang biasanya tidak menunjukkan emosi, langsung merasa dadanya bergemuruh. Teman pria itu melirik ke arahnya, lalu menyeringai nakal dan melanjutkan bacaannya. "Tahun ini, kamu berusia 19 tahun, baru masuk tahun kedua kuliah, dan kamu menyukai Samuel, meskipun dia nggak tahu. Tapi, kalau dia tahu pun, itu nggak akan berpengaruh, karena dia sudah punya orang yang dia sukai. Cinta rahasiamu itu sejak awal memang nggak akan berakhir bahagia." "Kamu mungkin akan bertanya, kalau memang nggak akan ada hasil, kenapa masih belum bisa menyerah? Aku ingin memberitahumu, yang aku sukai adalah semangat mudanya saat menerobos kerumunan yang bersorak, kepeduliannya saat dia tanpa sengaja menahan bola basket yang mengarah padaku di senja hari, sopan santunnya yang tulus bahkan ketika menolak cinta orang lain." "Aku yang lehernya pegal karena tiap rapat pagi mencuri pandang ke arahnya, aku yang menyelinap saat badai hanya untuk menyelipkan obat ke lacinya ketika dia cedera main basket, aku yang memenuhi buku harianku dengan namanya semalaman. Mungkin seumur hidupnya, dia nggak akan ingat siapa aku, tapi nggak apa-apa, karena diam-diam mencintai seseorang memang seperti medan perang yang hanya dilalui seorang diri." Begitu surat itu selesai dibacakan, ruangan langsung sunyi senyap. Tubuh Samuel pun seketika menegang. Tiba-tiba, dia teringat pernikahan itu, peristiwa yang enggan dia kenang. Dia teringat sosok yang, di tengah tatapan aneh orang-orang, tetap berdiri tegas dan berjalan mantap ke sisinya. Baru saat itu dia benar-benar paham alasan Cindy menikah dengannya. Bukan seperti yang dikatakan orang-orang, bahwa Cindy hanya ingin menumpang status dan kekuasaan. Namun, karena Cindy telah diam-diam mencintainya selama bertahun-tahun. Saat itu juga, entah kenapa jantung Samuel yang lama tertidur mulai berdebar kencang. Didorong oleh dorongan hati, dia ingin segera mengajukan semua pertanyaan yang terpendam. Namun, sebelum sempat membuka mulut, telepon dari Cynthia tiba-tiba masuk. [Samuel, aku dikepung beberapa preman di depan gedung klub ... ] Cynthia belum selesai bicara, tetapi wajah Samuel langsung berubah. Dia berdiri dan berlari turun ke bawah, dan begitu melihat sekelompok pria berambut kuning, dia langsung melayangkan pukulan. Karena marah, tinjunya keras dan kejam. Hanya beberapa pukulan saja, dia sudah membuat lawannya memuntahkan darah. Kelompok lainnya segera berlari memagari Cynthia, yang sambil menangis berkata bahwa salah satu preman bertato itu sempat menyentuh tangannya. Begitu mendengarnya, Samuel langsung mengambil batang besi di dekat situ dan menghantamkannya ke tangan preman itu. Teriakan kesakitan yang sangat nyaring menggema di udara. Cindy buru-buru turun ke bawah, dan yang dia lihat adalah pemandangan itu. Melihat tangan preman yang berlumuran darah dan nyaris hancur, dia pun tertegun. Tanpa sadar, dia menoleh ke arah Samuel, tetapi yang terlihat hanyalah punggungnya yang sedang melindungi Cynthia saat mereka berjalan pergi. Orang yang barusan bertindak begitu kejam dan tegas, kini menunjukkan wajah lembut dan berbicara dengan pelan dan menenangkan. Itu adalah perhatian yang tidak pernah diperoleh Cindy. Dia menundukkan kepala, menyembunyikan emosi di matanya, lalu tersenyum pahit. Setelah itu, dia diam-diam berbalik dan pulang. Hingga tengah malam, Samuel baru pulang. Melihat Cindy duduk diam di sofa tanpa berkata apa-apa, barulah Samuel ingat untuk menjelaskan. "Cindy, soal hari ini ... kita semua teman lama. Soal Cynthia, aku nggak bisa pura-pura nggak peduli dengan dia." Cindy tidak berniat berdebat. Dia hanya mengangguk pelan, lalu membawa pakaian tidurnya masuk ke kamar mandi. Setengah jam kemudian, saat dia keluar sambil mengeringkan rambut, dia melihat Samuel memegang ponselnya dengan ekspresi aneh. "Cindy, kok kamu beli tiket pesawat?"

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.