Bab 4
Cindy tertegun sejenak, lalu segera sadar dan mengambil kembali ponselnya.
"Aku nggak beli kok. Mungkin itu cuma pesan promo tiket diskon dari maskapai penerbangan."
Samuel masih ingin bertanya lagi, tetapi melihat raut wajah Cindy yang jelas tidak ingin membahasnya lebih lanjut, dia menahan niatnya.
Bagaimanapun ...
Cindy tidak pernah berbohong padanya, 'kan?
Samuel pun meletakkan ponsel dan mengangguk sebelum beranjak ke kamar mandi.
Namun, Cindy memanggilnya, lalu mengambil kotak P3K dari lemari.
"Punggungmu kena serpihan kaca, biar aku bantu obati sebentar."
Samuel sempat terdiam, tetapi kemudian menurut dan duduk di sofa, melepas jaket hingga terlihat luka di punggungnya.
Lukanya tidak terlalu parah, tetapi karena letaknya di punggung, tidak ada yang menyadarinya.
Siapa sangka, Cindy justru memperhatikannya.
Melihat dia serius mensterilkan luka dengan kapas, Samuel teringat surat itu.
"Cindy, tentang surat tadi siang itu ... "
"Nanti waktu mandi bersihkan juga, biar nggak infeksi. Lain kali kalau mau berkelahi, hati-hati sedikit. Soalnya nanti nggak ada yang bantu obatin kamu lagi."
Cindy tidak memberinya kesempatan untuk bertanya.
Pikiran Samuel yang terputus tidak sempat menangkap kalimat terakhir Cindy. Dia pun menoleh dan bertanya.
"Kamu bilang apa tadi?"
Cindy menggeleng pelan, lalu selesai menempelkan perban dan masuk ke kamar.
Setelah dia selesai mengeringkan rambut, Samuel pun keluar dari kamar mandi.
Dia memeluk pinggang Cindy dari belakang, membungkuk hendak menciumnya.
Namun, Cindy menoleh, menghindari ciuman yang terasa panas itu, dan berkata dengan datar.
"Lagi haid, aku mau tidur lebih awal."
Samuel tidak memaksanya, hanya membantu merapikan selimut, lalu mematikan lampu.
Keesokan paginya, cuaca sangat cerah.
Saat Cindy sedang mencuci muka, dia mendengar keributan dari bawah.
Begitu selesai dan keluar, dia melihat Cynthia datang bersama sekelompok orang.
Samuel bersandar di ambang pintu, wajahnya masam seperti biasa, suaranya pun terdengar tidak sabar.
"Kamu ngapain ke sini?"
Sebelum Cynthia sempat bicara, beberapa teman prianya sudah menyela sambil tertawa.
"Cynthia bilang kamu kemarin jadi pahlawan penyelamat, dia sangat berterima kasih, makanya maksa banget mau datang langsung buat bilang terima kasih!"
Begitu kalimat itu selesai, seperti pesulap, Cynthia langsung mengeluarkan sebuket bunga besar dari belakang, beserta hadiah berbungkus mewah.
"Samuel, terima kasih sudah menolongku kemarin. Ini cuma sedikit ungkapan terima kasih!"
Samuel tidak mengulurkan tangan untuk menerima hadiah itu.
Namun, ekspresinya terlihat agak melunak.
Melihat itu, Cynthia malah menyerahkan bunganya ke tangan Cindy, nadanya sama sekali tidak terdengar sopan.
"Ini mawar Juliet, favoritnya Samuel. Tolong bantu taruh di vas ya."
Mendengar itu, alis Samuel agak berkerut, dan nada suaranya berubah dingin.
"Kalau itu bunga favoritmu, jangan bilang itu kesukaanku. Dan lagi, Cindy itu istriku. Jangan perlakukan dia seperti pelayan."
Suasana di ruangan langsung mendingin karena ucapannya.
Hanya Cindy yang tampak tetap tenang.
Dia menatap buket mawar yang indah di tangannya. Baru kali ini tahu nama mawar ini.
"Juliet, ya?"
Kalau Cynthia yang suka, pantas saja Samuel rela menghabiskan banyak uang untuk membudidayakannya di rumah kaca.
Namun, Cindy tidak berkata apa pun. Dia hanya menyerahkan bunga itu kepada pelayan, sambil memberi instruksi singkat.
"Tolong ambil beberapa vas di lemari etalase lantai dua."
Tatapan Cynthia padanya jadi penuh arti.
Cindy berpura-pura tidak melihatnya, lalu membawa sarapannya ke balkon.
Hanya dipisahkan satu jendela, dia bisa mendengar jelas percakapan di ruang tamu.
"Samuel, ini 'kan burung bangau dari kertas yang dulu aku lipat waktu SMP ya? Kok kamu simpan dalam kotak kristal begini? Kalau kamu suka, besok aku lipatin satu kotak lagi deh!"
"Eh, ini boneka Barbie aku ya? Dulu kayaknya aku buang ke tempat sampah. Ternyata kamu ambil dan simpan ya?"
"Wah, ini 'kan daun waru yang kita pungut dari Gunung Sindu! Kamu ternyata bikin jadi pembatas buku dan disimpan selama ini?"
Mendengar suara antusias Cynthia seperti sedang menemukan harta karun, Cindy teringat saat pertama kali datang ke vila ini dan bertanya tentang asal-usul benda-benda itu pada Samuel.
"Hadiah kecil dari sepupu yang masih TK. Iseng saja disimpan."
Saat itu, Cindy benar-benar percaya dengan jawabannya, sampai-sampai dia tidak menyadari kerumitan di mata pria itu.
Tatapan yang berisi cinta dan dendam, nostalgia dan penyesalan.
Semua itu, jelas-jelas berkaitan dengan cinta.